Sunday, July 28, 2013

Ketegangan antara pusat dan daerah yang teraktualisasikan berupa tuntutan merdeka di Aceh, Papua (Irian), Riau dan Makassar (bahkan secara diam-diam sebenarnya daerah lain juga), dengan segala latar penyebabnya, sebenarnya bukanlah hal yang baru.

Rezim Soehartolah yang begitu kokoh selama 3 dasawarsa berkuasa telah membuat banyak orang lupa adanya akar-akar ketegangan tak terselesaikan di masa lalu. Seharusnya bukannya orang-orang pintar dari Jawa yang kini terkejut dengan segala tuntutan lokal itu, tapi orang-orang pintar (?) itu layak terkejut bahwa selama ini mereka bisa melupakan api dalam sekam itu.

Dalam rezim Soekarno ketegangan itu sebagian teraktualisasikan dalam pemberontakan daerah, kemudian "ditumpas" tapi sebenarnya tak berhasil, karena akar-akar wacananya tetap hidup di daerah. Lalu dalam rezim sentralistik-represif Soeharto, akar dari pucuk-pucuk pohon ketidakpuasan daerah yang ditebang rezim Soekarno itu, malah terpupuk subur, bahkan menciptakan tanaman ketegangan baru di daerah-daerah lain. Studi tentang tema ketegangan pusat dengan daerah pada rezim Soeharto, sekalipun tak banyak dan belum menghasilkan jawaban yang memuaskan, hampir-hampir tak pernah diperhatikan orang pintar dari Jawa.

Studi dan analisis juga telah dilakukan tentang era rezim Soekarno, dilakukan peneliti Barat dan Indonesia. Sebutlah secara acak Kahin (1952), Feith (1963), Harley (1974), Geertz (1963), terus ke Sjamsuddin (1990) ataupun Lerissa (1991). Sebagian dari hasil studi itu, (sekalipun konteks sudah berubah dan kompleksitas permasalahannya berkembang) kini mulai juga dipantulkan dan dijadikan argumen orang pintar dari Jawa, termasuk sebagian para pejabat pemerintah, militer termasuk anggota parlemen untuk menjelaskan ketegangan yang sekarang terjadi. Argumen itu kini mendominasi media massa Jakarta, dan solusi pemecahan yang ditawarkan masih sebatas retorika pemberian hak otonomi dari pusat ke daerah dalam hal keadilan sosial-ekonomi, otonomi politik, (plus tambahan sekedar lampiran: otonomi budaya dan agama untuk Aceh). Seakan-akan dengan itu semua keadaan menjadi beres, dan negeri ini dapat lenggang kangkung berjalan menuju ke apa yang kini disebut secara tak jelas sebagai "Indonesia Baru".

Ini merupakan suatu penggampangan kompleksitas permasalahan yang patut disesalkan, karena pusat gempa politik itu sebenarnya bukan berada pada wilayah ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik, tapi pada wilayah penolakan hegemoni Jawa. Faktor-faktor ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik hanyalah faktor-faktor yang memperkuat, mempertajam, serta memicu faktor utama, yakni faktor penolakan orang luar Jawa untuk takluk dalam hegemoni Jawa. Ketegangan pusat-daerah, Jawa-Luar Jawa itu, ingin saya lihat jauh ke belakang, ke wacana abad-abad yang dilupakan melalui sisi penolakan hegemoni politik Jawa dan pantulannya yang sebangun (sekalipun tak sama) dengan masa kini.

Kebetulan, riset saya belakangan ini di Universitas Hamburg-Jerman, memusatkan perhatian pada tema wacana teks klasik tentang hubungan politik antara apa yang kini dikenal sebagai Jawa dan Luar Jawa dalam konteks abad 16-18 (Die politischen Beziehungen zwischen Malay und Java in der klassischer malaiischer Texte).

Dalam tulisan berikut ini setiap kali penyebutan Jawa, dimaksudkan bukan dalam artian etnik (suku) Jawa, melainkan pusat kekuasaan yang ada di Jawa (Jakarta). Pusat kekuasaan itu dikendalikan baik oleh penguasa orang Jawa, maupun oleh orang luar Jawa yang telah menjadi bagian dari, dan pengabdi pada, kekuasaan Jawa. Orang yang terakhir ini ingin saya namakan sebagai "Orang Jawa-Luar", artinya orang Jawa yang datang dari luar etnik Jawa.

Dalam riset saya, ada pemisahan yang tajam antara pusat kekuasaan politik Jawa di satu pihak dengan peradaban Jawa di pihak lain. Hegemoni Jawa yang dirujuk tulisan ini dimaksudkan pada kekuasaan politik Jawa dan bukan pada peradaban Jawa dan bukan pada peradaban Jawa yang sebenarnya tidak menimbulkan ketegangan. Peradaban Jawa mendapat tempat penerimaan dalam beberapa kasus di luar Jawa, sebaliknya kekuasaan politik Jawa mendapat penentangan juga oleh pembelot-pembelot Jawa yang melarikan diri ke luar Jawa.

Sumber ketegangan utama Jawa-Luar Jawa temuan riset saya adalah penolakan luar Jawa (dunia Melayu) terhadap hegemoni politik Jawa (dalam teks Melayu direduksi menjadi Majapahit). Padahal Jawa pada waktu itu tidak menaklukkan dunia luar Jawa secara ekonomi dan teritorial dalam pengertian masa kini. Jika fakta menunjukkan dalam Indonesia moderen bahwa Jawa telah berperan sebagai penjarah ekonomi daerah dan sebagai penguasa tunggal suatu kawasan nyaris seluas benua Eropa, maka hal itu tidak berlangsung di dunia klasaik ini. Tapi ketegangan, dendam kesumat dan kemuakan pada pusat kekuasaan Jawa telah berlangsung di abad-abad yang lalu itu.

Teks-teks yang saya teliti merupakan wacana dari dunia Melayu yang melakukan perlawanan terhadap hegemoni politik Jawa untuk mengukuhkan kedaulatan di dunia mereka sendiri. Ini merupakan wacana reaksi dan perlawanan dari orang yang secara politik menolak untuk ditaklukkan Jawa.

Dalam wacana Melayu, Majapahit bukanlah pusat kekuatan yang besar, bertolak belakang dengan wacana Jawa tentang Majapahit dalam teks Nagarakrtagama. Teks Nagarakrtagama khususnya bagian ekspansi fasisme Jawa ke luar Jawa dapat dianggap sebagai wacana angan-angan keangkuhan hegemoni Jawa, dan bukan sebuah dokumen historis, sebagaimana secara kontroversial pernah dibongkar Berg (1974).

Sayangnya Sejarah Nasional resmi Indonesia (yang tetap diagitasikan ke jutaan murid sekolah Indonesia, termasuk murid di luar Jawa) masih berdasar tahyul Majapahit raya dan teks Jawa Nagarakrtagama. Tahyul ini telah diabsahkan sejarahwan Jawa yang berperan sebagai Prapanca-prapanca moderen, mulai dari Muhammad Yamin yang menjawakan dirinya sampai ke Nugroho Notosusanto termasuk Sartono Kartodirdjo beserta "sejarahwan" resmi yang menjadi pengikut setianya. Jika teks Jawa Nagarakrtagama memuja kesuksesan ekspedisi Majapahit menghancurkan dunia Melayu melalui ekspedisi Pamalayu 1275, maka teks Melayu seakan mencemooh kesuksesan ekspedisi yang secara historis meragukan itu.

Jangankan sukses menaklukkan Nusantara sebagaimana dengan angkuh dan sesumbarnya disumpahkan Patih Gajah Mada yang fasis itu, sedang Singapura sajapun tidak berhasil dihancurkan Majapahit. Teks Sejarah Melayu (edisi Shellabear 1896) memperlihatkan bagaimana militer Jawa pulang babak belur dengan kekalahan.

Bila Majapahit berhasil mengalahkan Singapura, maka itu merupakan kemenangan murahan, karena Singapura kalah bukan karena raksasa Majaphit lebih kuat, tapi karena pembelotan elit di dalam negeri Singapura yang menyuruh dan membantu Majapahit menikam Singapura dari belakang.

Jadi wacana teks dua kali menghancurkan wibawa dan martabat Majapahit. Pertama Majapahit kalah berperang dengan Singapura, kedua Majapahit hanya bisa menang perang di luar Jawa bila bekerjasama dengan pengkhianat setempat.

Aceh yang diserbu Majapahit secara besar-besaran di dalam teks Hikayat Raja-raja Pasai (Koleksi Raffles, MS 67) bukanlah Aceh yang mudah menyerah. Sekalipun teks ini menyalahkan Sultan Pasal yang memperlemah kekuatannya, tapi Majapahit sebenarnya tidak berhasil mengalahkan Pasai. Pasai kalah oleh Majapahit bukan karena militer Majapahit lebih kuat dari militer Pasai, tapi karena Majapahit dibantu oleh aliansi kerajaan-kerajaan Sumatera untuk mengeroyok Pasai yang ada dalam kondisi lemah. Itupun dengan susah payah baru bisa Pasai dikalahkan. Tapi Majapahit sebenarnya lebih dulu wibawa dan martabatnya dihancurkan Pasai melalui simbolisasi demoralisasi anak perempuan raja Majapahit yang menggilai anak Sultan Pasai sampai nekat bunuh diri di perairan Aceh.

Jadi teks ini dua kali juga menghancurkan wibawa dan martabat Majapahit, Pertama anak raja Majapahit mati bunuh diri karena menggilai anak Sultan Pasai. Kedua, Majapahit tidak bisa sendirian mengalahkan Pasai yang lagi lemah kalau tidak main kroyok dengan kerajaan lain. Wacana tentang Aceh klasik ini secara replektif bisa dibandingkan dengan mengajukan pertanyaan apakah TNI benar-benar bisa menaklukkan rakyat Aceh yang kelihatan dari sudut militer lemah? Apakah dengan pendekatan represif di Aceh, sekalipun rakyat Aceh banyak telah menjadi korban, pihak TNI telah berhasil memperoleh kemenangan, ataukah justru jatuh terjerembab wibawa dan martabatnya di mata rakyat dan dunia internasional? Bila TNI dengan kekuatan militer masih terus nekat ingin menegakkan hegemoni Jawa di Aceh, tidakkah itu merupakan tindakan bunuh diri seperti puteri Majapahit yang mati bunuh diri di Aceh?

Dalam teks Hikayat Raja-raja Pasai juga, orang-orang Minangkabau menolak takluk dalam hegemoni Jawa degan menunjukkan rendahnya kecerdasan penguasa Jawa dalam menaklukkan Minangkabau. Kerbau kuat yang dibawa dari Jawa mati berlaga dengan anak kerbau kurus Minangkabau dalam adu kerbau tak seimbang yang sangat mendebarkan dan mempertaruhkan harga diri Jawa di Minang. Matinya kerbau Jawa yang kekar dan kuat oleh anak kerbau Minang yang kelaparan dan loyo dalam adu kerbau itu menunjukkan penghinaan teks ini pada keangkuhan penguasa Jawa. Jawa boleh kuat secara militer tapi bodoh secara intelektual. Kebodohan yang akhirnya menggilas kekuatan militernya sendiri. Pasukan Jawa yang harga dirinya sudah jatuh karena harus menerima kekalahan perang simbolis itu, masih dihancurkan lagi dengan kelicinan Minang yang membuat pasukan militer Jawa yang moralnya sudah ambruk itu gampang dibunuh.

Kasus ini memperlihatkan cara berpikir penguasa Jawa yang merasa paling tahu untuk mengatur kebijakan orang-orang di luar Jawa. Cara berpikir yang merasa paling tahu tentang kondisi dan kekuatan lokal yang jauh dari Jawa itu bukan hanya tidak berhasil mencapai target yang diinginkan, tapi berakhir jadi bumerang untuk Jawa. Tidak hanya di luar Jawa kekuasaan Jawa itu dihancurkan. Sakin geramnya dunia Melayu dalam menolak hegemoni Jawa, wacana mereka juga menyerang dan menghancurkan wibawa dan martabat Jawa jutru di Jawa.

Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Banjar merupakan wacana untuk menghajar pusat kekuasaan Jawa yang selama ini (melalui hegemoni Jawa itu) telah menghancurkan kedaulatan dunia Melayu.

Teks Hikayat Hang Tuah yang versi salinannya ditemukan lebih 20 dan terbanyak tersimpan di museum London itu, sangat radikal menampilkan kekuatan dan kemarahan Melayu mengobrak-abrik istana Majapahit, membunuh militer Jawa, mempermalukan raja Jawa dan panglima militernya, serta meruntuhkan pusat sakral kekuasaan Jawa. Kemarahan dunia Melayu terhadap Jawa sampai melumpuhkan pusat kekuasaan Jawa ini dengan fokus yang lain, telah saya ungkapkan dalam tulisan saya sebelumnya (Republika 3 Maret 1999). Perlawanan luar Jawa terhadap hegemoni Jawa, dengan demikian bisa mencapai tahap radikalnya, yang justru menghancurkan Jawa, tahap yang tak terbayangkan oleh kekuasaan Jawa yang merasa diri paling kuat di jagad Nusantara ini.

Teks Hikayat Banjar (Rass 1968) memperlihatkan bagaimana pusat kekuasaan Jawa berhasil "ditaklukkan" oleh Banjar tanpa perang. Penolakan hegemoni Jawa oleh kekuatan Banjar langsung di Majapahit menghadirkan kegemparan di pusat kekuasaan Majapahit karena teks benar-benar menghajar tanpa ampun wibawa pusat kekuasaan Jawa. Raja Majapahit dan Gajah Mada beserta jajaran elitnya di negerinya sendiri ditunjukkan jadi gemetar, terpuruk ketakutan ketika mendengar Lambu Mengkurat, penguasa Banjar, datang ke Majapahit. Raja Majapahit dalam pandangan rakyat Jawa tanpa bisa melakukan perlawanan sedikit pun benar-benar dihina dan direndahkan oleh penguasa Banjar itu. Penguasa dari Kalimantan ini tidak mau tunduk pada Majapahit karena dia menganggap kehebatan Raja Majapahit, kekayaan, dan kekuatannya ada di bawah penguasa Banjar. Secara keseluruhan teks ini merupakan reaksi paling ironis dalam melawan hegemoni Jawa di Banjar, sebab pada bagian awal, teks dengan parodi menonjolkan berlangsungnya hegemoni Jawa di Banjar, yang telah menggiring dan menjadikan orang Banjar sebagai fotokopi dari Jawa.

Ini sekadar sketsa beberapa contoh kasus wacana masa lalu dari beberapa teks. Ada ratusan wacana masa lalu lainnya, tidak hanya dalam teks klasik tapi dalam bentuk tradisi lisan yang tersebar di luar Sumatera, seperti di daerah Sunda, Kalimantan, Sulawesi ataupun kawasan timur Indonesia.

Wacana modern mungkin terekam dengan baik, atau tetap hidup segar dalam pikiran orang-orang luar Jawa. Pada era rezim Soeharto yang sentralistik-represif, wacana penolakan hegemoni Jawa tidak mati, melainkan hidup bahkan berkembang sekalipun melalui suara bisik-bisik di lorong sempit kampus-kampus luar Jawa. Sebagian hadir berupa makian ataupun umpatan kekesalan di kaki lima kota-kota luar Jawa, di kedai kopi kampung-kampung terpencil, di tengah ladang dekat lintasan pipa besar yang mengalirkan minyak ke Jawa, di tepi hutan yang telah diluluhlantakkan pengusaha dari Jawa ataupun di depan kantor Koramil yang tidak bisa tidak selalu membela kepentingan Jawa.

Sedangkan tanpa pengambilan aset ekonomi dan penguasaan wilayah pun perlawanan luar Jawa atas hegemoni Jawa tetap berlangsung seperti yang ditunjukkan teks-teks klasik. Apalagi kini hegemoni Jawa itu diikuti dengan penjarahan, penindasan dan pembunuhan. Jika sekarang ketegangan itu meledak, maka bila dilihat dari sisi luar Jawa, itu adalah ledakan bom waktu yang sudah terlalu lama diyakini akan meledak.

Untuk Aceh saat ini mungkin sudah terlambat, entahlah kalau secepatnya meloncat ke sistem federasi. Federasi mungkin menjadi juruselamat, setidaknya untuk daerah-daerah yang belum "panas".

Keadaan bisa menjadi sulit jika melihat, sekarang penguasa Jawa yang mengendalikan Indonesia masih menginginkan luar Jawa sebagai daerah taklukan: persis seperti Gajah Mada menginginkan jagad Nusantara ada dalam genggamannya. Penguasa Jawa saat ini belum bisa menangkap (atau tidak mau menangkap) suasana batiniah orang-orang luar Jawa yang dari dulu sebenarnya tidak pernah mau diperintah dan dikendalikan oleh "orang pintar" dan orang kuat yang jauh di Jawa sana.