Asal-usul
Aceh selain sebagai nama daerah juga
merupakan nama salah satu suku asli terbesar yang hidup di Provinsi Aceh. Saat
ini, di Provinsi Aceh didiami oleh delapan suku besar yaitu suku Aceh, Gayo,
Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Simeuleu dan Singkil (Sufi dan Wibowo, 2004). Di
antara delapan suku tersebut, suku Aceh adalah yang terbesar. Lebih kurang 80%
suku ini mendiami Provinsi Aceh yang tersebar di lima kabupaten yaitu Aceh
Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Barat. 20% sisanya adalah
penduduk pendatang yang berasal dari suku bangsa lain seperti Jawa,
Minangkabau, Batak, Cina, India dan Arab. Karena banyak dihuni oleh berbagai
suku, dalam perkembanganya di Aceh lahir beragam bahasa, budaya dan konsep
berfikir (Syamsudin dkk, 1980; 15).
Mayoritas penduduk suku Aceh beragama
Islam. Zaman keemasan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menjadi monumen besar di
mana ajaran Islam ikut berpengaruh pada perilaku kehidupan masyarakat Aceh
(Lombard, 1986). Hukum Islam dan hukum adat menyatu dalam sistem pemerintahan Aceh
kala itu dan mencoba dipertahankan hingga sekarang (Sufi dan Wibowo, 2006).
Realitas ini menyebabkan kebudayaan Aceh menjadi warna-warni dan unik. Salah
satu kebudayaan yang saat ini masih dipercaya oleh ureung Aceh
dan melahirkan beragam ritual dalam kehidupan sosial mereka adalah
pengetahuan ureung Aceh tentang hantu.
Hantu adalah salah satu jenis dari makhuk
halus. Hantu dipercaya ureung Aceh hidup di sekitar mereka dan
bermukim di tempat-tempat yang dianggap angker, seperti kuburan,
rawa-rawa, kuala (sungai), goa yang dalam, hutan, pohon besar,
batu besar dan telaga. Menurut ureung Aceh hantu-hantu
tersebut ada yang baik dan ada yang jahat. Untuk hantu yang baik, para orang
tua atau teungku meunasah (imam madrasah) atau teungku
balee (pimpinan balai pengajian) memberitahukan agar masyarakat tidak
takut, karena hantu baik terkadang akan membantu masyarakat, bahkan kalau bisa
diajak berteman. Sebaliknya untuk hantu yang jahat, masyarakat dihimbau untuk
berhati-hati, karena terkadang hantu jahat akan mengganggu atau bahkan
menyakiti (Sufi dkk, 1998/1999; 78).
Secara umum, ureung Aceh
dalam kesehariannya menyebut hantu yang jahat dengan setan, iblis, jin jahat,
makhluk halus jahat atau roh jahat. Misalnya ada orang yang sakit dan tidak
dapat diobati oleh dokter atau dengan sebab yang tidak umum “aneh”, maka ureung Aceh
langsung menghubungkannya dengan makhluk halus yang jahat (Nurdin, 1988).
Contoh lain, seorang anak yang lahir padahal belum saatnya lahir (kurang
bulan), diyakini terkena gangguan roh jahat (Sufi dkk, 1998/1999; 78).
Hantu
dalam Pengetahuan Ureung Aceh
Ureung
Aceh tidak mempunyai sebutan khusus untuk hantu yang
baik, akan tetapi untuk hantu yang jahat, mereka mempunyai beberapa
sebutan khusus.
a. Hantu berdasarkan
tempat tinggalnya, antar lain:
- Orang bunian, yaitu hantu yang tinggal di
hutan. Lazimnya akan mengganggu siapa saja yang pergi ke hutan untuk
mencari kayu atau rotan, dengan cara “menyembunyikannya” selama
berhari-hari, sehingga orang tersebut tidak bisa pulang ke rumahnya,
sebelum bunian itu sendiri yang memulangkannya. Seseorang
biasanya akan pulang dengan keadaan fisik agak aneh (bahkan ada yang
hilang ingatan), tetapi ada juga yang sehat seperti semula sebelum
“disembunyikan” bunian. Orang tersebut bahkan terkadang
mempunyai kelebihan, misalnya dapat melihat makhluk halus.
- Balum beude (gulung
tikar). Hantu ini diam di kuala (sungai) atau tepi
pantai. Jika menampakkan diri dan
terlihat oleh mata telanjang, maka akan tampak tikar yang berwarna merah
laksana api, karena itu disebut setan gulung tikar.
- Sane. Hantu yang menghuni
rawa-rawa atau sungai yang airnya tidak mengalir, tetapi masih ada
genanganya. Sane biasanya menempel pada kayu yang
terapung atau tenggelam di rawa-rawa atau sungai. Jika
seseorang menyentuh kayu tersebut, maka badannya akan terasa sakit,
tulang-tulangnya seperti ada yang menggigit atau ditusuk jarum.
- Ie Beuna, yaitu hantu air laut
atau hantu yang diam di laut. Sebagian masyarakat Aceh percaya bahwa
tsunami tahun 2004 disebabkan oleh hantu air laut ini.
- Pohon Lumbe. Adalah
hantu yang tinggal di pohon lumbe. Jika seseorang meminum air
dari akar pohon tersebut, maka leher orang tersebut akan membesar dan
bengkak. Penyakit ini disebut ureung Aceh dengan cugong.
b. Hantu berdasarkan keyakinan, antara lain:
- Burong tujuh, adalah hantu
yang suka mengganggu anak kecil. Hantu ini sering masuk ke dalam tubuh
anak-anak (kerasukan). Jika hal
ini terjadi maka mata sang anak akan terbelalak, merah dan menyeramkan.
Untuk menghilangkannya akan dipanggil pawang, tengku meunasah atau tengku
balee. Setelah dijampi-jampi, burong tujuh biasanya
akan pergi dari tubuh sang anak.
- Beuno. Hantu ini
mengganggu orang yang sedang tidur. Jika orang tidur sambil mengorok (mendengkur),
maka itu tandanya sedang dirasuki beuno.
c. Hantu
berdasarkan wujudnya, antara lain:
- Tuleueng
dong, adalah
setan berwujud tulang tengkorak, yang menggangu dengan memperlihatkan
dirinya di kegelapan malam.
- Jen aphui (jin api). Jin jahat
yang hanya kelihatan di malam hari dan berbentuk seperti bola api.
- Geunteut, yaitu hantu dengan
bentuk fisik yang tinggi dan langkah yang panjang-panjang. Biasanya
menakuti-nakuti orang dengan menunjukkan dirinya di tengah jalan dan
selanjutnya masuk ke rerimbunan pohon bambu atau semak.
- Bujang itam, yaitu hantu yang
digambarkan kasar, angker dan mengerikan yang dapat ditugaskan untuk
maksud jahat.
- Burong (Kuntilanak),
adalah hantu berjenis perempuan berbaju putih dan keluar di malam
hari. Ureung Aceh menyebut dengan nama lain burong
punjot. Kuntilanak konon berasal dari mayat perempuan yang tali
pengikat kafannya tidak dilepas ketika dikubur. Namun ada juga yang
berpendapat kalau burong merupakan roh seorang perempuan
yang meninggal dunia karena melakukan perbuatan maksiat yaitu meumakah (berzina). Burong senang
mengganggu perempuan yang sedang haid, mengandung atau sedang melahirkan.
Biasanya dengan bersuara meikiki (beriba-iba minta
dikasihani). Jika seorang perempuan kosong pikirannya, maka burong akan
diam-diam masuk ke dalam tubuhnya, dan seketika perempuan tersebut akan
tak sadarkan diri dan mengoceh. Perempuan ini akan sembuh jika sudah
diobati oleh dukun yang menguasai ilmu tentang roh jahat (Sufi dkk,
1998/1999; 78).
Pengaruh Sosial
Pandangan ureung Aceh terhadap berbagai macam jenis hantu
di atas, berimplikasi terhadap kehidupan sosial mereka. Di bawah ini akan
disebutkan implikasi sosial pengetahuan ureung Aceh tentang
hantu, yaitu terhadap pengobatan tradisional, beberapa upacara ritual dan
pendidikan anak ureung Aceh.
a. Pengaruh
terhadap pengobatan tradisional
Sehubungan dengan pengobatan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh setan atau jin, ureung Aceh memiliki dua
istilah berbeda. Jika penyakit ini didapat dari tempat-tempat angker, maka
disebut Teukunong. Dan jika berasal dari ilmu hitam, maka
disebut jiboh atau jipeukeunong (Nurdin,
1988). Ada tiga cara yang dilakukan ureung Aceh untuk
mengobati kedua jenis penyakit ini, yaitu:
- Keumalon, yaitu memberi makanan (sesajen),
melepaskan ayam hitam, atau putih, atau cawarna untuk
hantu, di tempat yang dianggap angker. Dengan ritual ini ureung Aceh
berharap penyakit akan sembuh dan setan tidak mengganggu lagi.
- Meurajah, yaitu membaca mantra-mantra yang kadang
berasal dari ayat Al Quran. Kepada tukang rajah
diberikan peunyuroh (sarat) berupa jarum suntik yang
konon katanya agar ilmunya tidak tumpul. Jumlah jarum tergantung
penyakitnya, jika penyakitnya berat, akan diberikan lebih dari tiga jarum.
Jika ringan maka minimal satu jarum. Meurajah juga
dilakukan dengan menuliskan ayat tertentu dari Al Quran pada kertas,
kemudian kertas tersebut diselipkan di dalam dompet, ikat pinggang, kopyah
atau dibuat liontin kalung (dipakai azimat).
- Meukaoi (nazar). Jika keumalon dan meurajah tidak
mujarab, maka dilakukan nazar, yaitu datang ke kuburan-kuburan keramat
disertai dengan memotong kambing atau solat di masjid tertentu dan
berpuasa. Ini dilakukan dengan harapan, tersebab kekeramatan orang yang di
kubur tersebut, akibatnya penyakit dapat sembuh.
b. Pengaruh terhadap ritual
terwujud dalam tiga hal, yaitu ritual lingkaran hidup, tulak bala (menolak
bahaya), dan upacara adat.
- Pada
upacara ritual lingkaran hidup, antara lain:
- Ritual pada saat melahirkan. Saat bayi lahir disambut dengan adzan. Teman bayi yang disebut adoi (ari-ari) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman, di samping, maupun di belakang. Selama satu minggu, di tempat ari-ari ditanam, dinyalakan api unggun. Ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti adanya orang tertentu yang ingin mengambil ari-ari (dengan bantuan hantu jahat), dan digunakan untuk menyakiti sang bayi atau orang lain. Selain itu, untuk menangkal roh jahat, ureung Aceh juga meletakkan gunting dan pisau di bawah ayunan sang bayi (Sufi dkk, 1998/1999; 79).
- Ritual memandikan mayat. Apabila kematian terjadi pada malam hari, dengan sendirinya orang berjaga sampai pagi hari. Selain dijaga, mayat secara simbolis dipersenjatai dengan sebuah pisau kecil yang ditaruh di bawah bantalnya, untuk melawan jin-jin jahat. Sebuah lampu dari lentera juga diletakkan di dekatnya, simbol agar mayat selalu dalam keadaan terang. Penjagaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai mayat dilangkahi oleh kucing (pusa). Masyarakat meyakini, apabila mayat dilangkahi kucing, maka roh yang mati akan menjelma menjadi hantu. Saat penguburan mayat. Setelah sampai ke lokasi kuburan, mayat diletakkan di pinggir lubang kubur. Kemudian mayat diangkat dengan perlahan-lahan sambil dipayungi, terus dimasukkan ke dalam kubur. Sebelum ditimbun dengan tanah, semua ikatan bungkusan mayat dilepaskan. Tindakan ini dilakukan karena ada anggapan bahwa jika tidak dibuka ikatannya, maka roh dari mayat itu akan jadi buroung punjeot (setan berbalut). Burong adalah roh manusia yang mati karena terpaksa dan selalu mengganggu manusia. Orang-orang yang meninggal karena terpaksa misalnya mati karena dibunuh, ditimpa kayu, mati hanyut dibawa air, mati sewaktu melahirkan, rohnya akan menjadi burong, yang suka mengganggu manusia lainnya, kadang-kadang burong ini dipuja oleh seseorang manusia agar dapat menjadi kawannya dan dapat disuruh untuk berbuat jahat (Umar dkk. 1984; 49). - Pada
ritual tulak bala (menolak bahaya), antara lain:
- Kanduri atau kenduri ini lazimnya dilakukan pada setiap hari Rabu terakhir bulan safar (buleuen safa) yang dianggap bulan panas dan banyak penyakit (Sufi dkk, 1998/1999; 80). Kenduri tulak bala (menolak bahaya) umumnya dilakukan di tempat-tempat tertentu, seperti pada kuala krueng (muara sungai) atau pada pohon-pohon besar. Tujuannya adalah agar hantu di tempat itu tidak mengganggu manusia yang melewati tempat tersebut. Kenduri dilakukan dengan mengundang beberapa orang, dan dipimpin oleh seorang teungku meunasah untuk bersama-sama membaca ayat-ayat Al Quran (tahlil), sambil menghadap sesajen berupa nasi tumpeng, ayam panggang, dan bunga untuk nyekar di kuburan. Setelah selesai berdo‘a mereka makan bersama nasi tumpeng dan ayam panggang tersebut.
- Tangkal hantu untuk wanita yang sedang hamil, yaitu dengan memakai tangkal atau azimat. Biasanya terbuat dari benda-benda atau ayat-ayat suci Alquran yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Benda-benda yang digunakan biasanya adalah gunting dan pisau, keduanya dianjurkan untuk dibawa perempuan yang sedang hamil saat pergi ke sumur atau dapur. Dapat juga menggunakan benang tujuh warna yang sudah dirajah (diberi mantera) oleh dukun yang mempunyai piuleimee (ilmu). Benang diikatkan pada pinggang, leher atau pergelangan tangan kanan perempuan yang sedang hamil. Jika ini sudah dilakukan, maka perempuan yang hamil dapat pergi ke mana saja dengan aman. - Pada
upacara adat, antara lain:
- Kanduri laot bagi masyarakat nelayan di sepanjang pantai, yaitu dengan melemparkan sesajen berupa daging kerbau bersama nasi ke tengah laut (berjarak lebih kurang 1-1,5 mil dari pantai). Tradisi ini bertujuan agar roh jahat di laut tidak mengganggu para nelayan dalam mencari ikan di laut. Gangguan itu dapat berupa gelombang pasang dan angin ribut, yang dapat menenggelamkan kapal nelayan (Sufi dkk, 1997; 37).
- Kanduri we lhueng atau babah lhueng, yaitu kenduri saat air dialirkan ke sawah, dengan memotong kambing atau kerbau, nasi dan lauk pauk untuk di makan bersama. Bertujuan agar tanaman subur dan dijaga roh baik.
- Kanduri geuba geuco di kuburan keramat. Bertujuan agar padi terhindar dari hama dan hasil panen yang bagus, atas berkah roh yang baik.
- Kanduri pade baro, ritual seusai panen. Bertujuan untuk mengambil berkah dan ucapan syukur pada roh baik atas hasil panen.
- Kanduri gunung di gunung. Bertujuan agar terhindar dari musibah gunung, misalnya musibah gunung meletus dan hantu jahat.
c. Pengaruh pada proses
pendidikan, antara lain:
- Keyakinan pada hantu jahat
juga sering dijadikan alat oleh para orangtua Aceh untuk mendidik anaknya
agar mengaji (membaca Al Quran), sembahyang dan belajar. Menurut para
orangtua, setan atau jin jahat takut dengan orang yang pandai mengaji.
Biasanya jika dibacakan ayat Al Quran, maka setan atau jin jahat tidak
akan mengganggu.
- Pengetahuan pada hantu juga
dijadikan alat untuk mendidik anak-anak perempuan Aceh, agar mereka tidak
keluar malam, karena perempuan yang keluar malam dianggap tidak baik.
Malam adalah waktunya untuk mengaji dan belajar di rumah. Meskipun di
perkotaan sekarang anak perempuan banyak yang keluar malam, namun ajaran
ini masih banyak ditaati oleh anak-anak perempuan di gampong-gampong Aceh.
Penutup
Bagi ureung Aceh, hantu ternyata tidak selamanya
buruk dan harus ditakuti. Dari implikasi sosial yang ada, pengetahuan ureung Aceh
tentang hantu tampak mempunyai nilai-nilai yang positif, seperti menghormati
mayat, menjaga bayi, menjaga perempuan, syukur terhadap Tuhan atas tanaman dan
buah-buahan yang mereka tanam, menghormati alam, berhati-hati dengan penyakit,
serta nilai pendidikan anak. Semoga nilai-nilai ini tetap dimaknai dengan baik,
walaupun terus terjadi transformasi pengetahuan baru yang diterima ureung Aceh. (Yusuf
Efendi/bdy/04/12-09).
Referensi
- Lombard, Dennys. 1986. Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan Winarsih Arifin. Jakarta; Balai Pustaka.
- Mahmud, Nurdi. 1988. Adat
Aceh Sekitar Kematian (makalah). Disampaikan pada Loka Karya adat
dan Budaya Aceh yang Berlangsung Tanggal 8-10 Januari 1988, di
Lhokseumawe.
- Meuraxa, Dado 1956. Sekitar
Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
- Sufi, Rusdi dkk. Keanekaragaman
Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Banda Aceh. 2004
- Perkampungan di Perkotaan
Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan
Miskin ota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1998/1999.
- Sistem Bagi Hasil
Tradisional Pada Masyarakat Etnis Aceh dan Aneuk Jamee. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh 1997.
- Sufi, Rusdi dan Wibowo, Agus
B. 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam.
- Syamsudin T dkk. 1977. Adat
Istiadat Daerah, Propinsi Daerah Istimewa Aceh.. Banda Aceh: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
- T. Iskandar .
1977/1978. Hikayat Aceh. Banda Aceh: Sejarah Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
- Umar, Razali. Upacara Tradisional (upacara Kematian Daerah Istimewa Aceh). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan
dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta. 1984.
Sumber : http://melayuonline.com