Akar Permasalahan
Pada
tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru besar
di Universiti Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya
sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita
lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci
Kristian yang berbahasa Yunani. Mengapa missionaris satu ini menyeru begitu?
Seruan
semacam itu dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang-orang Kristen dan Yahudi
terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat
Islam dan kitab suci al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan
Kristen sudah sejak lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima
kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti
bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia didalamnya,
sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.
Tentu
saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia
juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig
(Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Flügel menerbitkan ‘mushaf’ hasil
kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Kemudian datang Theodor Nöldeke yang
berusaha merekonstruksi sejarah al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang
belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal.
Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi Mushaf
Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar
di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini,
konon ingin merekonstruksi teks al-Qur’an berdasarkan Kitab al-Mashāhif karya Ibn Abī
Dāwūd as-Sijistānī yang katanya mengandung
varian bacaan dalam ‘mushaf-mushaf tandingan’ (rival codices). Jeffery
bermaksud meneruskan upaya Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl –dua
orientalis yang pernah bertungkus-lumus mengumpulkan foto lembaran-lembaran
(manuskrip) al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis al-Qur’an (tetapi
gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II
berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh seorang aktivis
Liberal di Indonesia. Didorongkan oleh minatnya yang berlebih terhadap qira’āt-qira’āt lemah lagi menyeleweng (Nichtkanonische Koranlesarten)
Bergsträsser berupaya mengedit karya Ibn Jinnī dan Ibn Khālawayh.
Bagi para orientalis ini, ‘isnād’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang ‘shādzdz’ boleh saja dianggap ‘shahīh’, yang ‘āhād’ dan ‘gharīb’ boleh saja menjadi ‘mutawātir’ dan ‘masyhūr’, dan yang cacat disamakan
dengan yang sempurna. Dalam urusan ini, teknik dan strategi utamanya adalah menukar-balikkan
kriteria dan nilai, mengetepikan yang fundamental dan mengetengahkan yang
trivial. Itulah sebabnya mengapa mereka sibuk mengorek-orek isu nasikh-mansukh,
isyu adanya surat tambahan versi golongan Syi’ah, isyu “Gharānīq” dan lain sebagainya. Ada
pula orientalis yang konon ingin merombak susunan ayat dan surah al-Qur’an
secara kronologis, mau mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun mengubah redaksi
sebagian ayat-ayatnya.
Kajian
orientalis terhadap al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otentisitinya. Isu
klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster,
dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an (‘theories of
borrowing and influence’). Ada yang berusaha mengungkapkan segala yang
boleh dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut, seperti dari
literatur dan tradisi Yahudi-Kristian (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall,
dan lain-lain), dan ada pula yang membandingkannya dengan adat-istiadat
Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka mengatakan bahwa
cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi
Bible yang mereka anggap lebih akurat. Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam
pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya
sufi, Reynold A. Nicholson: “Muhammad picked up all his knowledge of this
kind [i.e. al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed
trappings–largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.”
Walau bagaimanapun, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu
saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas Umat
Islam terhadap kitab suci al-Qur’an, apatah lagi membuat mereka murtad.
Al-Qur’an
merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristian,
setelah mereka gagal menghancurkan sīrah dan sunnah Rasulullāh saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan
kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari
sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan
konco-konconya. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad
saw khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin Umat Islam melakukan hal
yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi ‘Isa as.
Bagi mereka ‘Moses’ cuma tokoh fiktif (invented, mythical figure) dalam
dongeng Bible, manakala tokoh ‘Jesus’ masih lagi diliputi misteri dan
ceritera-ceritera bohong dan palsu. Dalam logika mereka, jika ada upaya
pencarian ‘Jesus historikal’ mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah
mengenai Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka. Muncullah Arthur Jeffery yang
menulis The Quest of the
Historical Mohammad, dimana
ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai “kepala perampok” (robber
chief). Usahanya tersebut diteruskan kemudian oleh F. E. Peters dan belum
lama ini diulangi lagi oleh seorang dengan nama samaran “Ibn Warraq.”
Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka
sesungguhnya hanya menunjukkan kebusukan-hati dan kebencian mereka terhadap
tokoh dan agama yang mereka kaji. Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian
Orientalis terhadap hadis. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha
dalam sejarah Kristian atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan
mereka, teori evolusi juga berlaku untuk hadis; mereka berspekulasi bahwa apa
yang dikenal sebagai hadis muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad
saw wafat, bahwa hadis mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai
periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadis
secara systematis (isnād), menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat ‛Abbāsiyyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak
hadis hanya sedikit saja yang otentik, manakala sisanya kebanyakan palsu.
Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya.
Para orientalis cum missionaris ini ingin supaya Umat Islam membuang tuntunan
Rasulullah saw sebagaimana orang Kristian meragukan dan akhirnya mencampakkan
ajaran Jesus.
Kajian
keislaman pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman
secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya
secara khusus kepada bidang hadits nabi. Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, sarjana
Barat yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz
Goldziher (1850-1921), seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria dengan
karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Buku yang kemudian
dijadikan semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Penelitian
hadits selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht yang juga merupakan seorang
Yahudi orientalis. Bukunya yang terkenal berjudul The Origins of Muhammaden
Jurisprudence. “Keunggulan” Schacht ialah kemampuannya dalam membuat
kesimpulan bahwa “tidak ada satu hadits pun yang otentik dari Rasulullah Saw,
khususnya hadits yang bersangkutan dengan hukum Islam.” Namun demikian,
Goldziher hanya sekadar meragukan keotentikan hadits nabi.
Kajian
dan penelitian mereka terhadap hadits berpijak pada metode yang aneh dan
mengherankan. Sebelum melakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di
pikiran mereka sendiri, untuk kemudian mencari dalil-dalil yang belum tentu
kebenarannya.
Baik
Goldziher maupun Schact berpendapat bahwa hadits tidak berasal dari Rasulullah
Saw melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijriah. Dengan
kata lain, hadits adalah buatan ulama abad pertama dan kedua dan tidak
ditulis pada zaman Rasulullah Saw.
Jawaban tentang
permasalahan Al-Qur’an
Kembali
ke masalah otentisiti kitab suci al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat.
Pertama, pada prinsipnya al-Qur’an
bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan
‘bacaan’ (qirā’ah atau recitation) dalam erti ucapan
dan sebutan. Baik proses turun dan pewahyuannya maupun penyampaian, pengajaran
dan periwayatan atau transmisinya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan
tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah
“membaca dari ingatan (qara’a ‘an zahri qalb, yakni to recite from memory).”
Sementara tulisan berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebabnya karena
ayat-ayat al-Qur’an dicatat –yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang,
kayu, kertas, daun, dsb–berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya
telah tertera dalam ingatan sang Qāri’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnād secara mutawātir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan
dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrīl as kepada Nabi saw dan diteruskan kepada
para Sahabat, demikian sehingga hari ini. Ini berbeda dengan kes teks Bible,
dimana tulisan–yakni manuscript
evidence dalam bentuk
papyrus, scroll, dan sebagainya–memainkan peranan utama dan berfungsi sebagai
acuan serta landasan bagi Testamentum alias Gospel. Jelaslah bahwa seluruh
kekeliruan dan kesalahfahaman orientalis berpunca dari sini.
Orientalis
semacam Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, bertolak dari sebuah asumsi
keliru, menganggap al-Qur’an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan
sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio.
Dengan asumsi yang keliru ini (i.e. taking
“the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi
yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source
criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya,
mereka menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product),
hasil rakaman situasi orang Arab abad ke-7 dan 8M. Mereka juga mengatakan bahwa
mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka
sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka konon mau membuat edisi
kritis (critical edition), ingin merestorasi teks al-Qur’an dan
bercadang membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa
mereka menyamakan al-Qur’an dengan Bible telah diakui sendiri oleh Karl-Heinz
Ohlig, Profesor di Universiti Saarbrücken, Jerman: “Bercermin dari [sejarah
Kristian], dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatik dan
dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya]
selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah [yang
sesungguhnya] hampir mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kes ini]
boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad saw pun (yakni,
al-Qur’an dan Hadis) melalui proses serupa.
Kedua, meskipun pada prinsipnya
diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan
menggunakan pelbagai medium tulisan. Sehingga wafatnya Rasulullah saw, hampir
seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan
karena itu berbeda kualiti dan kuantitinya satu sama lain. Karena untuk
keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang
menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsīr/glosses) di pinggir ataupun di
sela-sela antara ayat yang mereka tulis. Baru kemudian, menyusul susutnya
jumlah penghafal al-Qur’an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam‘)
pun dilakukan oleh sebuah jawatan-kuasa yang dibentuk atas inisiatif Khalīfah Abū Bakr as-Siddīq
sehingga al-Qur’ān dikumpulkan menjadi
sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawātir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abū Bakr ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan
oleh Khalifah ‛Umar ra sampai beliau wafat
(23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada
Khalifah ‛Uthmān ra. Pada masa beliaulah, atas desakan
permintaan sejumlah Sahabat, sebuah jawatan-kuasa pakar sekali lagi dibentuk
dan diminta mendata kembali semua qira’āt yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahīhan periwayatannya untuk kemudian melakukan
standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan
dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’āt-qira’āt mutawātir yang disepakati kesahīhan periwayatannya dari Nabi saw.
Jadi,
sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Para orientalis yang ingin
mengubah-ubah al-Qur’an biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta
sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi
tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru
dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, dengan sesuka-hatinya
berkata: “That he [i.e. Abū Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory
demands is exceedingly doubtful.” Ia juga mengklaim bahwa “…the
text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need
to investigate what went before the canonical text.” Di sini nampak jelas
bagaimana Jeffery tidak mengerti, berpura-pura tak tahu dan sengaja lupa bahwa
al-Qur’an tidak sama sejarahnya dengan Bible, bahwa al-Qur’an bukan lahir dari
manuskrip, akan tetapi sebaliknya: manuskrip lahir dari al-Qur’an.
Ketiga, salah-faham orientalis
mengenai rasm dan qira’āt. Sebagaimana diketahui,
tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun
awal Islam, al-Qur’an ditulis ‘gondol’, tanpa tanda-baca sedikitpun. Sistem
vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‛Uthmāni sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin
saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal,
dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Disinilah orientalis semacam Jeffery, Puin dan Luxenberg telah salah-faham dan
keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul ini menyebabkan variant readings –sebagaimana terjadi dalam kes
Bible. Mereka juga keliru menyamakan qira’āt dengan ‘readings’, padahal qira’āt adalah ‘recitation from memory’ dan bukan ‘reading the text’.
Mereka tidak faham bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus
mengikuti bacaan yang diriwayatkan dari Nabi saw (“ar-rasmu tābi‘un li l-riwāyah”) dan bukan sebaliknya.
Orientalis juga salah-faham mengenai ‘rasm’ al-Qur’an. Dalam bayangan keliru
mereka, bermacam-macam qira’āt
jawatan-kuasAbūl karena rasm yang sangat
sederhana itu, sehingga setiap pembaca boleh saja berimprovisasi dan membaca
sesuka-hatinya. Padahal ragam qira’āt telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak
mengerti bahwa rasm al-Qur’an telah disepakati dan dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira’āt yang diterima. Misalnya, dengan
menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata berikut:
1. “ﻤﻠﻚ” (QS 1:4) demi mengakomodasi qira’āt Imam ‛Āsim, al-Kisā’ī, Ya‘qūb dan Khalaf (“māliki”–dibaca panjang, dengan alif), sekaligus qira’āt Abū ‘Amr, Ibn Kathīr,
Nāfi‘, Abū Ja‘far, dan Ibn ‘Āmir (“maliki”–dibaca pendek, tanpa
alif).
2-
“ﻴﺧﺪﻋﻭﻦ” (QS 2:9) sehingga
memungkinkan dibaca “yukhādi‘ūna” (berdasarkan qira’āt
Nāfi‘, Ibn Kathīr dan Abū ‘Amr) dan “yakhda‘ūna” (mengikut qira’āt
‛Āsim, al-Kisā’ī, Ibn ‘Āmir dan Abū Ja‘far.
3.
“ﻭﻋﺪﻧﺎ” (QS 2:51) ditulis
demikian untuk menampung qira’āt
Abū ‘Amr, Abū Ja‘far, Ya‘qūb (“wa‘adnā”–pendek, tanpa alif setelah wāw) dan qira’āt
Ibn Kathīr, ‛Āsim, al-Kisā’ī serta Ibn ‘Āmir (“wā‘adnā”–wāw panjang, dengan alif).
Mungkin
ada yang bertanya: Apakah semua qira’āt yang ada telah tertampung oleh rasm ‛Uthmāni? Adakah qira’āt
mutawātir yang tidak terwakili
oleh rasm ‛Uthmāni? atau: Apakah naskah-naskah yang dikirim
oleh Khalifah ‛Uthmān ra ke berbagai kota (Mekkah, Basrah, Kufah,
Damaskus) seragam rasmnya dan sama dengan yang ada di Madinah atau
berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira’āt yang dominan di kota tersebut? Perlu ditegaskan bahwa pada
prinsipnya, tidak ada qira’āt
mutawātir yang tidak terwakili,
semuanya telah ditampung oleh rasm ‛Uthmāni, sebab para ulama
sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qira’āt, yaitu: (1) diriwayatkan secara mutawātir, (2) sesuai dengan rasm mushaf ‛Uthmāni atau–lebih tepatnya–sesuai dengan salah satu dari 6 masahif
rasm ‛Uthmāni (yakni: yang dikirim ke Mekkah, Basrah,
Kufah, Damaskus, Madinah, dan yang disimpan oleh Khalifah ‛Uthmān ra sendiri), lalu (3) sesuai dengan salah satu kaidah bahasa
Arab. Di sini, yang dimaksud dengan syarat “sesuai dengan salah satu masahif
rasm ‛Uthmāni” adalah “sesuai dengan qira’āt yang ditulis dalam mushaf tertentu, meskipun
tidak pada yang lain.” Contohnya, QS 26:217. Dalam mushaf yang dikirim ke
Madinah dan (Damaskus) tertulis “ﻓﺘﻭﻜﻝ” (fa-tawakkal dengan
fā’–sesuai dengan qira’āt yang diriwayatkan oleh Nāfi‘, Ibn ‘Āmir , Abū Ja‛far), manakala dalam mushaf yang lain
(Mekkah, Basrah, Kufah) tertulis “ﻭﺘﻭﻜﻝ” (wa-tawakkal dengan
wāw–mengikut qira’āt ‛Āsim, Ibn Kathīr,
Abū ‘Amr, dan al-Kisā’ī). Perlu ditegaskan bahwa dalam kaitannya dengan orthografi mushaf
ini, secara umum qira’āt-qira’āt yang diterima karena telah memenuhi tiga
syarat di atas dapat dibahagikan sebagai berikut :
1.
Dua qira’āt yang berbeda, tetapi
hanya dituliskan sebuah sahaja, seperti “ﺼﺮﻃ” (sirāt), “ﻴﺒﺼﻃ” (yabsutu),
“ﻤﺼﻴﻃﺮ” (musaytir).
Semuanya ditulis dengan huruf sād,
padahal asalnya huruf sīn,
maka boleh dibaca dengan sād
sesuai rasm-nya, dan boleh juga dibaca dengan sīn sesuai dengan asalnya.
2.
Dua qira’āt atau lebih yang berbeda,
tetapi ditulis dengan satu bentuk rasm yang boleh menampung semuanya, seperti
rasm “kāf-bā’/tā’-yā’-rā’” yang mewakili dua qira’āt “ﻗﻝ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺇﺜﻢ ﻜﺒﻴﺮ dan ﻗﻝ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺇﺜﻢ ﻜﺜﻴﺮ” (QS 2:219), sebab dalam rasm ‛Uthmāni semuanya ditulis tanpa
titik, baris atau harakat. Contoh lainnya terdapat dalam QS al-Hujurāt ayat 6: rasm “fā’-tā’-bā’/thā’-yā’/bā’-nūn/tā’-wāw-alif” dapat menampung dua
qirā’at sekaligus, yakni “ﻓﺘﺒﻴﻧﻭﺍ” dan “ﻓﺘﺜﺒﺘﻭا”.
3. Perkataan atau kalimat dalam qira’āt yang mengandung tambahan atau pengurangan
dan tidak mungkin ditulis dua kali atau lebih karena akan tercampur dan dapat
mengacaukan. Misalnya QS 26:217 tersebut di atas. Contoh lainnya dalam QS
2:132, dimana terdapat dua qiraat: “wa washshā bihi” dan “wa awshā”. Yang pertama dibaca oleh
selain Nāfi‘, Ibn ‘Āmir dan Abū Ja‛far, sehingga dalam mushaf
yang dikirim ke Shām dan Madinah tertulis: “ﻭﺃﻭﺼﻰ” (wa awshā), manakala dalam mushaf
yang dikirim ke Kufah dan Basrah ditulis tanpa alif, “ﻭﻭﺼﻰ” (wa washshā).
Yang
masuk kategori ketiga cukup banyak. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Sha‘bān Muhammad Ismā‛īl dari Universiti al-Azhar, jumlah qira’āt yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam
mashahif ‛Uthmān, tanpa pengulangan, mencapai 58 perkataan.
Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‛Uthmān ra ke berbagai kota itu beragam rasmnya, mengikut bacaan Sahabat
yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak
bergantung pada teks. Dan memang, qira’āt Sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak
serta-merta sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya
sama. Boleh saja seorang Imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan
rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafs di Kufah membaca QS
az-Zukhruf ayat 71: “tashtahīhi” (ﺘﺸﺘﻬﻴﻪ dengan dua ha), seperti
tertera dalam mushaf Madinah dan , padahal dalam mushaf Kufah tertulis
dengan satu ha (ﺘﺸﺘﻪ “tashtahi”). Ini
dibolehkan mengingat diantara syarat diterimanya sebuah qira’āt adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf ‛Uthmāni. Sebaliknya, jika suatu qira’āt tidak tertera dalam salah satu mushaf ‛Uthmāni, qira’āt tersebut dianggap ‘shādhdh’ dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan rasm yang disepakati, rasm yang telah menampung dan
mewakili semua qira’āt-qira’āt mutawātir. Jika
demikian halnya, maka spekulasi sesuka-hati atau bacaan liberal seperti yang
dibuat-buat oleh para orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi‘ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
Jawaban Tentang Permasalahan Hadits
Pandangan
yang mengatakan bahwa hadits adalah buatan ulama abad pertama dan kedua dan
tidak ditulis pada zaman Rasulullah Saw dengan mudah dapat terbantahkan.
Abdullah Ibnu Umar ialah sahabat Nabi yang paling banyak menulis hadits
dibandingkan Abu Hurairah. Abu Hurairah menyatakan bahwa Abdullah Ibnu Umar
mencatat apa-apa yang tidak ia catat. Artinya, banyak hal yang masih belum Abu
Hurairah catat dibandingkan Ibnu Umar. Rasulullah Saw pernah berkata kepada
Ibnu Umar, “Catatlah dari aku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar saja.”
Tuduhan
selanjutnya ialah bahwa para sahabat tidak menghafal hadits. Hal ini juga
termasuk dalam kelalaian dan kecerobohan para orientalis dalam melihat sejarah.
Mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Saw setiap berbicara selalu mengulanginya
tiga kali, agar apa yang dikatakan benar-benar diserap oleh para sahabat yang
kadar hafalannya tidak sama. Ada yang cepat menghapal dan ada pula yang lamban.
Para sahabat seperti ini dikenal sebagai umat yang ummy, tidak bisa membaca dan
menulis. Mereka hanya mengandalkan hafalan saja, namun hafalan mereka melebihi
orang yang mencatat.
Para
orientalis pun seringkali meragukan kredibilitas para rawi hadits dan ulama
hadits. Padahal, terdapat sebuah disiplin ilmu yang dibuat oleh ulama hadits
terkemuka seperti Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam kitabnya Jarh Wa Ta’dil. Jarh
berarti mencela, sedangkan ta’dil berarti memuji. Jarh wa Ta’dil berguna
untuk menilai para rijal hadits. Dari sini kita dapat mengetahui keadaan
masing-masing riwayat hidup para rawi. Dengan ilmu ini juga, hadits Rasulullah
dapat terjaga keasliannya. Jarh wa Ta’dil sebenarnya sudah ada dalam
al-Quran: “Jika datang seorang fasiq membawa kabar, telitilah!” Selain
itu, ilmu jarh tidak termasuk dalam ghibah.
Goldziher
menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu
dsebabkan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad saja tanpa
kritik matan. Kemudian Goldziher menawarkan metode kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan, hanya saja
apa yang dimaksud dengan kritik matan menurut orientalis berbeda dengan istilah
para ulama klasik. Menurut Goldziher, kritik matan hadits mencakup berbagai
aspek, seperti politik, sains, sosial, kultural, dan lain-lain.
Goldziher mencontohkan hadits-hadits dalam Shohih Bukhori. Menurutnya,
Imam Bukhori hanya melakukan kritik sanad saja tanpa matan, sehingga tidak
menutup kemungkinan di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits palsu. Sebenarnya
apa yang dikatakan Goldziher tidak benar. Ada sebuah contoh yang dapat dibaca
bahwa para ulama klasik tidak hanya memberikan penekanan pada kritik sanad
saja, tetapi juga pada kritik matan.
Contohnya Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Nafi’: “Dikatakan kepada Ibnu
Umar: bahwa Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Siapa
yang mengiringi jenazah, bagi dia banyak pahala” lalu Ibnu Umar berkata, “Kau
telah banyak bercerita wahai Abu Hurairah.” Lalu hadits ini dikirim kepada
Siti Aisyah dan dia membenarkannya. Ketika itu Ibnu Umar berkata, “Telah
berlalu dari kami banyak pahala.” Di sini jelas bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar,
sangat berhati-hati terhadap apa yang telah disampaikan oleh Abu Hurairah karena
dia takut jika Abu Hurairah salah dan keliru dalam hafalannya. Setelah dibenarkan
oleh Aisyah, maka Ibnu Umar mengetahui bahwa Abu Hurairah benar-benar hafal dan
kuat ingatannya.
Dari penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher, ternyata
tuduhan itu seringkali ahistoris dan irasional. Beberapa contoh di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan
produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan
bukan ucapan Nabi Saw. Alasannya adalah bahwa hukum syariah tidak dikenal
oleh umat Islam pada kurun pertama, sehingga para ulama di abad ketiga banyak
yang tidak tahu tentang sejarah Rasulullah Saw. Dia menukil dari tulisan
ad-Darimy, seorang Arab Muslim dalam bukunya Hayat al-Hayawan (Dunia Hewan)
bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti tentang Perang Badar, apakah
sebelum Perang Uhud atau sesudahnya.
Tidak diragukan lagi, bagi
orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan hal demikian.
Padahal Abu Hanifah seorang ulama terkenal dan paling banyak berbicara tentang
peperangan dalam Islam melalui bukunya. Buku-buku karangan murid-murid Imam Abu
Hanifah soal sejarah pun mengisyaratkan keluasan ilmu gurunya tentang sejarah
Islam.
2.
Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence
berkesimpulan bahwa hadits-hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum
Islam ialah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Dia berkata,
“Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang
dapat dipertimbangkan kesahihannya.”
Untuk mendukung kesimpulan
ini, Schacht mengajukan konsep “proyeksi ke belakang”, yaitu mengaitkan
pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga pada tokoh-tokoh terdahulu agar
pendapat ini mendapat legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih
mapan. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan
para sahabat sampai Rasulullah Saw, sehingga membentuk sanad hadits. Inilah
fondasi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits
itu tidak otentik dari Nabi Saw.
Ahli hadits abad sekarang, Prof. Dr. M. M. Azami melakukan penelitian
khusus terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah klasik. Kesimpulannya
sangat mustahil (untuk ukuran waktu itu) para tabiin yang tempat tinggalnya
berjauhan dapat berkumpul untuk memalsukan hadits, yang kemudian oleh
generasi selanjutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut sama. Padahal para
rawi-nya tidak pernah bertemu.
Masih
banyak lagi bantahan para ulama terhadap syubhat kalangan orientalis yang ingin
meruntuhkan posisi hadits sebagai salah satu sumber hukum utama dalam Islam.
Akan tetapi, setiap tuduhan para orientalis itu tidaklah akan meruntuhkan
kebenaran bahwa Islam ialah agama yang Haq.