Ada beberapa
kekeliruan dan kesalahpahaman di dalam menyikapi pahama Nasionalisme. Oleh
karenanya, dalam bab ini akan dijelaskan kekeliruan-kekeliruan tersebut beserta
jawaban –jawabannya agar para pembaca menjadi jelas, dan tidak diselimuti
kerancuan di dalam menyikapi paham Nasionalisme ini.
Kekeliruan Pertama :
Sebagian kaum muslimin
berpendapat bahwa faham Nasionalisme termasuk salah satu dari ajaran Islam.
Bahkan menurut mereka, paham ini pernah di contohkan oleh Rasulullah saw, pada
waktu kedatangan beliau pertama kali ke Madinah, ketika beliau mengadakan
perjanjian dengan kaum Yahudi yang tinggal di kota tersebut, yang kemudian
perjanjian itu terkenal dengan “Konstitusi Madinah”. Ironisnya lagi,
pemahaman-pemahaman yang sering mengaburkan ajaran Islam ini, sering
diungkapkan oleh sarjana-sarjana muslim lulusan Barat, seperti Nur Chalis
Majid, Dawam Raharjo dan kawan-kawannya.
Sebenarnya Konstitusi Madinah yang ditanda tangani oleh Rasulullah saw
tersebut, tidak bisa dijadikan dasar untuk melegalisasikan Nasionalisme.
Perjanjian antara kaum muslimin dan bangsa Yahudi untuk bekerja sama dalam
menjaga keamanan kota Madinah tersebut sangat berbeda dengan gerakan
Nasionalisme yang dimotori oleh antek-antek penjajah
Perbedaan-perbedaan tersebut terlihat pada beberapa point dibawah ini :
Pertama : Orang-orang Yahudi waktu itu, walaupun menyimpan rasa benci pada kaum
muslimin, akan tetapi mereka belum menampakkannya dalam bentuk konfrontasi
fisik Oleh karenanya, ketika mereka mencoba untuk mengganggu ketentraman kaum
muslimin yaitu pada waktu mereka sengaja mengganggu salah seorang wanita
muslimah yang kebetulan berjalan di tengah-tengah pasar. Rasulullah saw sebagai
pucuk pimpiman kaum muslimin waktu itu, tidak memberikan kesempatan pada mereka
sedikitpun untuk tinggal di Madinah lagi.
Kedua : Kepemimpinan waktu itu dipegang oleh Rasulullah saw secara mutlak dan
ditegakkannya Syariat Islam di dalam kehidupan sehari-hari dengan memberi
kesempatan orang-rang Yahudi melaksanakan ajarannya agamanya. Adapun rincian ajaran Islam
terhadap masalah seperti ini, sudah banyak dijelaskan oleh para ulama di
dalam “Ahkam Ahlu Dzimmah” atau di dalam kitab Al Jihad. Kedua poin tersebut
ini, tidak didapati pada gerakan Nasionalisme yang dipimpin oleh antek-antek penjajah
seperti Sa’ad Zaghlul, Saddam Husein dan lain-lain. Kemudian perlu diajukan
beberapa pertanyaan kepada mereka yang mengaku dirinya muslim, namun masih
terus bersih keras untuk memperjuangkan Nasionalisme :
1/ Apakah Syariat Islam akan ditegakkan di dalam Negara
Nasionalis?
2/ Apakah kaum muslimin merasa tentram di dalamnya dan tidak pernah
mendapatkan gangguan dari pihak-pihak luar (non muslim) yang tinggal satu
negara dengan mereka ?
3/ Kemudian kalau mendapatkan gangguan dari luar, apakah pemimpin mereka
mampu bertindak tegas sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw ketika
berhadapan dengan pengkhianatan Yahudi?
4/ Kemudian yang terakhir, apakah ada contoh yang nyata didalam sejarah
kehidupan manusia, yang bisa kita tiru dari sebuah masyarakat (Negara) yang
menganut paham Nasionalisme dan mampu membawa kebahagiaan umat manusia?
Sebetulnya teori-teori yang mereka ungkapkan tidak jauh dari teori-teori
Barat tentang kemanusiaan yang tidak pernah terwujud di dalam kenyataan. Oleh
karenanya, sangatlah wajar kalau Muhammad Yaqzhan mengeluarkan pernyataan,
bahwa gerakan pembaruan keagamaan yang dipimpin oleh Nur Kholis adalah gerakan
yang hanya didasari oleh hasil rekaan dan lamunan, tidak berpijak pada kriteria
dan kaidah-kaidah yang sudah baku dan telah teruji kebenarannya baik secara
syari’ ataupun secara akal sehat.
Kekeliruan kedua:
Seringkali kita dapati tokoh-tokoh Nasionalis menyetir sebuah hadist yang
sekiranya bisa menguatkan gerakan mereka. Akibatnya, masyarakat awam pun
ikut-ikutan untuk berdalil dengannya, bahkan sebagian dai’ muslim seringkali
memakainya di dalam ceramah-ceramah mereka. Hadits tersebut berbunyi:
“Cinta
tanah air merupakan bagian dari pada keimanan”
Paling tidak ada dua point yang perlu diketengahkan dalam hadits di atas,
untuk menjelaskan permasalahan di atas:
Pertama : Hadist di atas adalah hadist maudhu’ yaitu hadits yang dikarang seseorang
untuk tujuan tertentu, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Nasiruddin
al-Albani, pakar hadist abad ini. Dr.Adnan Ali Ridho, penulis Palestina yang
sangat produktif, pernah menyebutkan bahwa:
”…Fitnah yang pertama muncul kepermukaan adalah Nasionalisme, ia telah
dikemas sedemikian rupa, sehingga keluar dengan hiasan syetan jin dan manusia,
disebarkan kepermukaan, dimasukan ke dalam otak-otak manusia, ditulis di
koran-koran dan majalah majalah, dijadikan kurikulum sekolah-sekolah. Oleh
karenanya, anda jangan merasa heran kalau propaganda ini sampai puncaknya,
dengan bermunculnya putra-putra Islam yang menamakan Nasionalisme dengan
lebel Islam dan mengemasnya degan pernyataan bahwa ia adalah bagian dari
keimanan, sehingga jiwa-jiwa lemah dan bodoh terpengaruh dengan provokasi
tersebut”.
Alasan lain untuk mengatakan bahwa hadits tersebut bukan berasal dari
Rasulullah saw adalah terletak pada susunan kata-katanya yang rancu. Hal itu,
karena kecintaan seseorang pada tanah air, merupakan tabi’at manusia yang
seorang pun tidak bisa memungkirinya, sebagaimana ia mencintai dirinnya sendiri
atau mencintai harta, perempuan, perhiasan, dan lain sebagainya, yang semua
orang sudah memakluminya. Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al
Qur’an, ( Qs. Ali Imran, ayat : 14 ).
Orang yang mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari keimanan,
berarti ia harus juga mengatakan bahwa cinta harta merupakan sebagian dari
keimanan. Jelas bahwa kedua pernyataan itu tidak benar, kecuali kalau kecintaan
tersebut dikaitkan dengan masalah keimanan, sebagaimana dijelaskan pada point
kedua.
Kedua : Kalau seandainya hadits itu kita anggap shahih, maka artinya bukan
seperti yang difahami oleh orang-orang nasionalis, tapi arti hadits itu harus
disesuaikan dengan ajaran Islam, karena di dalam Islam tidak terjadi
pertentangan antara hadits yang shahih dengan hadits shahih yang lainnya,
begitu juga antara al-Qur’an dan Hadist.(kaidah-kaidah seperti ini telah
dijelaskan oleh ulama hadits dan fiqh). Maka untuk membenarkan hadits tersebut
perlu ditambahkan keterangan sebagai berikut:
Cinta pada tanah air ( yang ditegakan di dalam syari’at Islam ) adalah
sebagian dari iman. Dengan tambahan seperti itu makna hadits maudhu’ itu
menjadi benar. Hal itu, karena cintanya pada tanah air tersebut didasari atas
cintanya pada Allah. Karena Allah mencintai tanah air yang ditegakan di dalamna
Syariat Islam . Sebaliknya, Allah membenci tanah air yang menginjak-injak
hukum-Nya. Tanah air seperti ini tidak boleh dibela dan dicintai kecuali dalam
rangka menegakkan hukum Allah.
Barangkali arti seperti inilah yang di maksud oleh pemimpin-pemimpin
Islam dalam pidato-pidato dan tulisan mereka antara tahun 1920 s/d 1950,
seperti pidato Omar Said Tjokroaminoto di depan konggres Syarekat Islam pada
tahun 1916 dan tulisan Muhammad Natsir tahun 1955. Begitu juga yang ditulis
tokoh-tokoh JIB ( Jong Islamieten Bond), seperti Samadikoen, Soedewo dan Kasman
Singodimedjo.
Sa’id Hawa di dalam satu tulisannya menyatakan bahwa:
“ Tanah air yang tidak melindungi agama Islam dan tidak ditegakkan di
dalamnya Syari’at Islam dinamakan Darul Harby, yang seorang muslim harus
memeranginya, walaupun itu adalah tanah airnya sendiri dan di dalamnya ada anak
dan saudara dan hartanya.”
Beliau menguatkan pendapatnya tersebut dengan pristiwa “Fathul Mekkah”,
ketika itu, Rasulullah SAW bahkan memimpin sendiri pasukan Islam
yang jumlahnya mencapai 10.000 personil untuk menaklukan kota Mekkah,
kota di mana beliau dilahirkan, di dalamnya ada kerabat-kerabat dekatnya,
harta-harta para sahabatnya. Kota Mekkah pada waktu itu belum bisa disebut
Darul Islam, kecuali setelah tunduk dengan hukum Islam dan ditegakkannya
syariat Allah.
Di samping dua point dan pendapat Sa’id Hawa di atas, penulis perlu
menyebutkan pendapat Ahmad Hasan yang dikenal sebagai salah satu tokoh
pembaharu Islam di Indonesia, di dalam satu perdebatannya dengan
Ir.Sukarno beliau menulis:
“ Hendaklah Tuan Soekarno mengerti, bahwa mengajak orang mencintai tanah
air lain dengan menganjurkan Ashobiyah. Satu dari Ashobiyah itu ialah
menganjurkan supaya sebuah negeri diurus secara kehendak bangsa, tidak
secara wet Allah.”
Beliau juga mengatakan bahwa:
“ Cinta pada tanah air tidak dilarang oleh agama. Cinta tanah air bagi
seorang muslim adalah memajukan pelajaran, perekonomian, pertukangan dan
sebagainya yang memajukan kaum muslimin dan memakmurkan negri-negrinya. Hal
ini, supaya kaum muslimin dan negeri-negerinya, sekurang – kurangnya tidak
berada dibawah derajat negeri lainnya. Juga supaya negeri-negeri Islam diurus
oleh orang-orang Islam sendiri dengan hokum dan peraturan yang terdapat didalam
al-Qur’an dan sunnah rasulullah.”
Dari tulisan di atas terlihat jelas perbedaan antara mencintai tanah air
sebagai tabi’at dasar manusia dan ashobiyyah yang identik dengan nasionalisme
sebagai pandangan hidup. Ashobiyyah adalah bila seseorang menolong suatu kaum,
tanpa melihat ia dalam keadaan benar atau salah. Ashobiyah ini sering juga
disebut oleh beberapa kalangan dengan Solidaritas Sosial.
Kekeliruan ketiga:
Sebagian orang sering mengatakan bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk
menyatakan: “ Saya adalah seorang Arab yang muslim atau seorang Pakistan yang
Muslim”. Memang benar bahwa Islam tidak melarang seseorang untuk menisbatkan
diri kepada sesuatu, seperti: nama sekolah, nama kabilah, suku, ataupun negara,
karena itu memang merupakan fitrah manusia . Tetapi perlu dicatat disini, bahwa
Islam mengharamkan seorang muslim menjadikan nama-nama tersebut sebagai dasar
pijakan di dalam memberikan loyalitasnya, artinya ia tidak boleh mencintai
orang-orang di kelompoknya walau dalam kebatilan dan memusuhi seluruh yang di
luar kelompoknya walau mereka dalam kebenaran.
Akan tetapi sifat inilah yang justru lebih berdominan dan mewarnai
kehidupan seorang muslim yang nasionalis. Ibnu Tamiyyah telah menjelaskan hal
ini di dalam Majmu’ Fatawa:
“Apabila mereka orang-orang yang berkelompok berkumpul dalam rangka
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa menambah dan menguranginya,
maka mereka masuk katagori orang-orang beriman mempunyai hak dan kewajiban
sebagaimana orang beriman lainnya. Akan tetapi kalau mereka mengadakan hal-hal
yang baru yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya seperti fanatik kepada
setiap orang yang masuk kelompoknya walau dalam kebatilan, serta berpaling dan
membenci kepada semua orang di luar kelompoknya walau dalam pihak yang benar.
Maka hal ini merupakan perpecahan yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, karena
Allah dan Rasul-Nya menyuruh untuk berjama’ah dan bersatu, melarang perpecahan
dan perselisihan, menyuruh untuk saling membantu di dalam kebajikan dan
ketakwaan serta melarang kerjasama di dalam berbuat dosa dan permusuhan”.
Hal senada dengan tulisan Said Hawa dalam bukunya ”al Islam “, ia
menyatakan bahwa memploklamasikan slogan “kebangsaan” dan persatuan nasional, berjuang
demi kemajuan bangsa sama sekali tidak boleh dilakukan seorang muslim, selama
ia menjadikan kebangsaan itu titik tolaknya, karena hal itu merupakan salah
satu bentuk kesyirikan. Akan tetapi jika perjuangan berangkat dari keimanan
kepada Allah dan berniat untuk melakukan perintah-perintah-Nya dalam
memperbaiki bangsa maka amalan tersebut termasuk dalam katagori ibadah.
Berbicara masalah ini, Dr. Muhammad Imaroh lebih cenderung mengidentikkan
loyalitas seorang muslim bak anak tangga yang mempunyai tingkat dan jenjang
masing-masing secara berurutan, mulai dari anak tangga yang paling rendah,
kemudian menginjak pada anak tangga kedua kemudian berikutnya, sehingga sampai
anak tangga yang paling atas. Anak tangga yang paling bawah barangkali
adalah loyalitas seseorang kepada keluarga, kemudian anak tangga kedua adalah
loyalitas kepada kabilah atau etnis, anak tangga ketiga adalah loyalitas kepada
sebuah bangsa atau Negara dan seterusnya sehingga sampai anak tangga terakhir
yang merupakan akhir dari tujuan seorang muslim yaitu loyalitas terbesar dan
tertinggi yang diberikan kepada ajaran Islam yang merupakan proyeksi dari
petuah dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari situ sudah jelas, bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan untuk
mengorbankan ajaran Islam untuk kepentingan keluarga, atau etnis atau
kepentingan sebuah negara. Yang terakhir ini lebih sering disebut seebagai
faham Nasionalisme.