Ketegangan antara pusat dan daerah
yang teraktualisasikan berupa tuntutan merdeka di Aceh, Papua (Irian), Riau dan
Makassar (bahkan secara diam-diam sebenarnya daerah lain juga), dengan segala
latar penyebabnya, sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Rezim Soehartolah yang begitu kokoh selama 3 dasawarsa berkuasa
telah membuat banyak orang lupa adanya akar-akar ketegangan tak terselesaikan
di masa lalu. Seharusnya bukannya orang-orang pintar dari Jawa yang kini
terkejut dengan segala tuntutan lokal itu, tapi orang-orang pintar (?) itu
layak terkejut bahwa selama ini mereka bisa melupakan api dalam sekam itu.
Dalam rezim Soekarno ketegangan itu sebagian teraktualisasikan
dalam pemberontakan daerah, kemudian "ditumpas" tapi sebenarnya tak
berhasil, karena akar-akar wacananya tetap hidup di daerah. Lalu dalam rezim
sentralistik-represif Soeharto, akar dari pucuk-pucuk pohon ketidakpuasan
daerah yang ditebang rezim Soekarno itu, malah terpupuk subur, bahkan
menciptakan tanaman ketegangan baru di daerah-daerah lain. Studi tentang tema
ketegangan pusat dengan daerah pada rezim Soeharto, sekalipun tak banyak dan
belum menghasilkan jawaban yang memuaskan, hampir-hampir tak pernah
diperhatikan orang pintar dari Jawa.
Studi dan analisis juga telah dilakukan tentang era rezim
Soekarno, dilakukan peneliti Barat dan Indonesia. Sebutlah secara acak Kahin
(1952), Feith (1963), Harley (1974), Geertz (1963), terus ke Sjamsuddin (1990)
ataupun Lerissa (1991). Sebagian dari hasil studi itu, (sekalipun konteks sudah
berubah dan kompleksitas permasalahannya berkembang) kini mulai juga
dipantulkan dan dijadikan argumen orang pintar dari Jawa, termasuk sebagian
para pejabat pemerintah, militer termasuk anggota parlemen untuk menjelaskan
ketegangan yang sekarang terjadi. Argumen itu kini mendominasi media massa
Jakarta, dan solusi pemecahan yang ditawarkan masih sebatas retorika pemberian
hak otonomi dari pusat ke daerah dalam hal keadilan sosial-ekonomi, otonomi
politik, (plus tambahan sekedar lampiran: otonomi budaya dan agama untuk Aceh).
Seakan-akan dengan itu semua keadaan menjadi beres, dan negeri ini dapat
lenggang kangkung berjalan menuju ke apa yang kini disebut secara tak jelas
sebagai "Indonesia Baru".
Ini merupakan suatu penggampangan kompleksitas permasalahan yang
patut disesalkan, karena pusat gempa politik itu sebenarnya bukan berada pada
wilayah ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik, tapi pada wilayah penolakan
hegemoni Jawa. Faktor-faktor ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik hanyalah
faktor-faktor yang memperkuat, mempertajam, serta memicu faktor utama, yakni
faktor penolakan orang luar Jawa untuk takluk dalam hegemoni Jawa. Ketegangan
pusat-daerah, Jawa-Luar Jawa itu, ingin saya lihat jauh ke belakang, ke wacana
abad-abad yang dilupakan melalui sisi penolakan hegemoni politik Jawa dan
pantulannya yang sebangun (sekalipun tak sama) dengan masa kini.
Kebetulan, riset saya belakangan ini di Universitas
Hamburg-Jerman, memusatkan perhatian pada tema wacana teks klasik tentang
hubungan politik antara apa yang kini dikenal sebagai Jawa dan Luar Jawa dalam
konteks abad 16-18 (Die politischen Beziehungen zwischen Malay und Java in der
klassischer malaiischer Texte).
Dalam tulisan berikut ini setiap kali penyebutan Jawa, dimaksudkan
bukan dalam artian etnik (suku) Jawa, melainkan pusat kekuasaan yang ada di
Jawa (Jakarta). Pusat kekuasaan itu dikendalikan baik oleh penguasa orang Jawa,
maupun oleh orang luar Jawa yang telah menjadi bagian dari, dan pengabdi pada,
kekuasaan Jawa. Orang yang terakhir ini ingin saya namakan sebagai "Orang
Jawa-Luar", artinya orang Jawa yang datang dari luar etnik Jawa.
Dalam riset saya, ada pemisahan yang tajam antara pusat kekuasaan
politik Jawa di satu pihak dengan peradaban Jawa di pihak lain. Hegemoni Jawa
yang dirujuk tulisan ini dimaksudkan pada kekuasaan politik Jawa dan bukan pada
peradaban Jawa dan bukan pada peradaban Jawa yang sebenarnya tidak menimbulkan
ketegangan. Peradaban Jawa mendapat tempat penerimaan dalam beberapa kasus di
luar Jawa, sebaliknya kekuasaan politik Jawa mendapat penentangan juga oleh
pembelot-pembelot Jawa yang melarikan diri ke luar Jawa.
Sumber ketegangan utama Jawa-Luar Jawa temuan riset saya adalah
penolakan luar Jawa (dunia Melayu) terhadap hegemoni politik Jawa (dalam teks
Melayu direduksi menjadi Majapahit). Padahal Jawa pada waktu itu tidak
menaklukkan dunia luar Jawa secara ekonomi dan teritorial dalam pengertian masa
kini. Jika fakta menunjukkan dalam Indonesia moderen bahwa Jawa telah berperan
sebagai penjarah ekonomi daerah dan sebagai penguasa tunggal suatu kawasan
nyaris seluas benua Eropa, maka hal itu tidak berlangsung di dunia klasaik ini.
Tapi ketegangan, dendam kesumat dan kemuakan pada pusat kekuasaan Jawa telah
berlangsung di abad-abad yang lalu itu.
Teks-teks yang saya teliti merupakan wacana dari dunia Melayu yang
melakukan perlawanan terhadap hegemoni politik Jawa untuk mengukuhkan
kedaulatan di dunia mereka sendiri. Ini merupakan wacana reaksi dan perlawanan
dari orang yang secara politik menolak untuk ditaklukkan Jawa.
Dalam wacana Melayu, Majapahit bukanlah pusat kekuatan yang besar,
bertolak belakang dengan wacana Jawa tentang Majapahit dalam teks
Nagarakrtagama. Teks Nagarakrtagama khususnya bagian ekspansi fasisme Jawa ke
luar Jawa dapat dianggap sebagai wacana angan-angan keangkuhan hegemoni Jawa,
dan bukan sebuah dokumen historis, sebagaimana secara kontroversial pernah
dibongkar Berg (1974).
Sayangnya Sejarah Nasional resmi Indonesia (yang tetap
diagitasikan ke jutaan murid sekolah Indonesia, termasuk murid di luar Jawa)
masih berdasar tahyul Majapahit raya dan teks Jawa Nagarakrtagama. Tahyul ini
telah diabsahkan sejarahwan Jawa yang berperan sebagai Prapanca-prapanca
moderen, mulai dari Muhammad Yamin yang menjawakan dirinya sampai ke Nugroho
Notosusanto termasuk Sartono Kartodirdjo beserta "sejarahwan" resmi
yang menjadi pengikut setianya. Jika teks Jawa Nagarakrtagama memuja kesuksesan
ekspedisi Majapahit menghancurkan dunia Melayu melalui ekspedisi Pamalayu 1275,
maka teks Melayu seakan mencemooh kesuksesan ekspedisi yang secara historis
meragukan itu.
Jangankan sukses menaklukkan Nusantara sebagaimana dengan angkuh
dan sesumbarnya disumpahkan Patih Gajah Mada yang fasis itu, sedang Singapura
sajapun tidak berhasil dihancurkan Majapahit. Teks Sejarah Melayu (edisi
Shellabear 1896) memperlihatkan bagaimana militer Jawa pulang babak belur
dengan kekalahan.
Bila Majapahit berhasil mengalahkan Singapura, maka itu merupakan
kemenangan murahan, karena Singapura kalah bukan karena raksasa Majaphit lebih
kuat, tapi karena pembelotan elit di dalam negeri Singapura yang menyuruh dan
membantu Majapahit menikam Singapura dari belakang.
Jadi wacana teks dua kali menghancurkan wibawa dan martabat
Majapahit. Pertama Majapahit kalah berperang dengan Singapura, kedua Majapahit hanya
bisa menang perang di luar Jawa bila bekerjasama dengan pengkhianat setempat.
Aceh yang diserbu Majapahit secara besar-besaran di dalam teks
Hikayat Raja-raja Pasai (Koleksi Raffles, MS 67) bukanlah Aceh yang mudah
menyerah. Sekalipun teks ini menyalahkan Sultan Pasal yang memperlemah
kekuatannya, tapi Majapahit sebenarnya tidak berhasil mengalahkan Pasai. Pasai
kalah oleh Majapahit bukan karena militer Majapahit lebih kuat dari militer
Pasai, tapi karena Majapahit dibantu oleh aliansi kerajaan-kerajaan Sumatera
untuk mengeroyok Pasai yang ada dalam kondisi lemah. Itupun dengan susah payah
baru bisa Pasai dikalahkan. Tapi Majapahit sebenarnya lebih dulu wibawa dan
martabatnya dihancurkan Pasai melalui simbolisasi demoralisasi anak perempuan
raja Majapahit yang menggilai anak Sultan Pasai sampai nekat bunuh diri di
perairan Aceh.
Jadi teks ini dua kali juga menghancurkan wibawa dan martabat
Majapahit, Pertama anak raja Majapahit mati bunuh diri karena menggilai anak
Sultan Pasai. Kedua, Majapahit tidak bisa sendirian mengalahkan Pasai yang lagi
lemah kalau tidak main kroyok dengan kerajaan lain. Wacana tentang Aceh klasik
ini secara replektif bisa dibandingkan dengan mengajukan pertanyaan apakah TNI
benar-benar bisa menaklukkan rakyat Aceh yang kelihatan dari sudut militer
lemah? Apakah dengan pendekatan represif di Aceh, sekalipun rakyat Aceh banyak
telah menjadi korban, pihak TNI telah berhasil memperoleh kemenangan, ataukah
justru jatuh terjerembab wibawa dan martabatnya di mata rakyat dan dunia internasional?
Bila TNI dengan kekuatan militer masih terus nekat ingin menegakkan hegemoni
Jawa di Aceh, tidakkah itu merupakan tindakan bunuh diri seperti puteri
Majapahit yang mati bunuh diri di Aceh?
Dalam teks Hikayat Raja-raja Pasai juga, orang-orang Minangkabau
menolak takluk dalam hegemoni Jawa degan menunjukkan rendahnya kecerdasan
penguasa Jawa dalam menaklukkan Minangkabau. Kerbau kuat yang dibawa dari Jawa
mati berlaga dengan anak kerbau kurus Minangkabau dalam adu kerbau tak seimbang
yang sangat mendebarkan dan mempertaruhkan harga diri Jawa di Minang. Matinya
kerbau Jawa yang kekar dan kuat oleh anak kerbau Minang yang kelaparan dan loyo
dalam adu kerbau itu menunjukkan penghinaan teks ini pada keangkuhan penguasa
Jawa. Jawa boleh kuat secara militer tapi bodoh secara intelektual. Kebodohan
yang akhirnya menggilas kekuatan militernya sendiri. Pasukan Jawa yang harga
dirinya sudah jatuh karena harus menerima kekalahan perang simbolis itu, masih
dihancurkan lagi dengan kelicinan Minang yang membuat pasukan militer Jawa yang
moralnya sudah ambruk itu gampang dibunuh.
Kasus ini memperlihatkan cara berpikir penguasa Jawa yang merasa
paling tahu untuk mengatur kebijakan orang-orang di luar Jawa. Cara berpikir
yang merasa paling tahu tentang kondisi dan kekuatan lokal yang jauh dari Jawa
itu bukan hanya tidak berhasil mencapai target yang diinginkan, tapi berakhir
jadi bumerang untuk Jawa. Tidak hanya di luar Jawa kekuasaan Jawa itu
dihancurkan. Sakin geramnya dunia Melayu dalam menolak hegemoni Jawa, wacana mereka
juga menyerang dan menghancurkan wibawa dan martabat Jawa jutru di Jawa.
Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Banjar merupakan wacana untuk
menghajar pusat kekuasaan Jawa yang selama ini (melalui hegemoni Jawa itu)
telah menghancurkan kedaulatan dunia Melayu.
Teks Hikayat Hang Tuah yang versi salinannya ditemukan lebih 20
dan terbanyak tersimpan di museum London itu, sangat radikal menampilkan
kekuatan dan kemarahan Melayu mengobrak-abrik istana Majapahit, membunuh
militer Jawa, mempermalukan raja Jawa dan panglima militernya, serta
meruntuhkan pusat sakral kekuasaan Jawa. Kemarahan dunia Melayu terhadap Jawa
sampai melumpuhkan pusat kekuasaan Jawa ini dengan fokus yang lain, telah saya
ungkapkan dalam tulisan saya sebelumnya (Republika 3 Maret 1999). Perlawanan
luar Jawa terhadap hegemoni Jawa, dengan demikian bisa mencapai tahap
radikalnya, yang justru menghancurkan Jawa, tahap yang tak terbayangkan oleh
kekuasaan Jawa yang merasa diri paling kuat di jagad Nusantara ini.
Teks Hikayat Banjar (Rass 1968) memperlihatkan bagaimana pusat
kekuasaan Jawa berhasil "ditaklukkan" oleh Banjar tanpa perang.
Penolakan hegemoni Jawa oleh kekuatan Banjar langsung di Majapahit menghadirkan
kegemparan di pusat kekuasaan Majapahit karena teks benar-benar menghajar tanpa
ampun wibawa pusat kekuasaan Jawa. Raja Majapahit dan Gajah Mada beserta
jajaran elitnya di negerinya sendiri ditunjukkan jadi gemetar, terpuruk
ketakutan ketika mendengar Lambu Mengkurat, penguasa Banjar, datang ke
Majapahit. Raja Majapahit dalam pandangan rakyat Jawa tanpa bisa melakukan
perlawanan sedikit pun benar-benar dihina dan direndahkan oleh penguasa Banjar
itu. Penguasa dari Kalimantan ini tidak mau tunduk pada Majapahit karena dia
menganggap kehebatan Raja Majapahit, kekayaan, dan kekuatannya ada di bawah
penguasa Banjar. Secara keseluruhan teks ini merupakan reaksi paling ironis
dalam melawan hegemoni Jawa di Banjar, sebab pada bagian awal, teks dengan
parodi menonjolkan berlangsungnya hegemoni Jawa di Banjar, yang telah
menggiring dan menjadikan orang Banjar sebagai fotokopi dari Jawa.
Ini sekadar sketsa beberapa contoh kasus wacana masa lalu dari
beberapa teks. Ada ratusan wacana masa lalu lainnya, tidak hanya dalam teks
klasik tapi dalam bentuk tradisi lisan yang tersebar di luar Sumatera, seperti
di daerah Sunda, Kalimantan, Sulawesi ataupun kawasan timur Indonesia.
Wacana modern mungkin terekam dengan baik, atau tetap hidup segar
dalam pikiran orang-orang luar Jawa. Pada era rezim Soeharto yang
sentralistik-represif, wacana penolakan hegemoni Jawa tidak mati, melainkan
hidup bahkan berkembang sekalipun melalui suara bisik-bisik di lorong sempit
kampus-kampus luar Jawa. Sebagian hadir berupa makian ataupun umpatan kekesalan
di kaki lima kota-kota luar Jawa, di kedai kopi kampung-kampung terpencil, di tengah
ladang dekat lintasan pipa besar yang mengalirkan minyak ke Jawa, di tepi hutan
yang telah diluluhlantakkan pengusaha dari Jawa ataupun di depan kantor Koramil
yang tidak bisa tidak selalu membela kepentingan Jawa.
Sedangkan tanpa pengambilan aset ekonomi dan penguasaan wilayah
pun perlawanan luar Jawa atas hegemoni Jawa tetap berlangsung seperti yang
ditunjukkan teks-teks klasik. Apalagi kini hegemoni Jawa itu diikuti dengan
penjarahan, penindasan dan pembunuhan. Jika sekarang ketegangan itu meledak,
maka bila dilihat dari sisi luar Jawa, itu adalah ledakan bom waktu yang sudah
terlalu lama diyakini akan meledak.
Untuk Aceh saat ini mungkin sudah terlambat, entahlah kalau
secepatnya meloncat ke sistem federasi. Federasi mungkin menjadi juruselamat, setidaknya
untuk daerah-daerah yang belum "panas".
Keadaan bisa menjadi sulit jika melihat, sekarang penguasa Jawa
yang mengendalikan Indonesia masih menginginkan luar Jawa sebagai daerah
taklukan: persis seperti Gajah Mada menginginkan jagad Nusantara ada dalam
genggamannya. Penguasa Jawa saat ini belum bisa menangkap (atau tidak mau
menangkap) suasana batiniah orang-orang luar Jawa yang dari dulu sebenarnya
tidak pernah mau diperintah dan dikendalikan oleh "orang pintar" dan
orang kuat yang jauh di Jawa sana.