Wednesday, January 16, 2013


Media menjadi alat yang efektif dalam sebuah agenda propaganda. Itulah mengapa Negara kuat termasuk Yahudi begitu berambisi menguasai Media. Salah satu taktik konspirasi yang dilakukan Free Masonry (organisasi Yahudi) adalah menguasai alat komunikasi dan media massa. Karena ia sangat efektif sebagai senjata dalam membuat berita yang membingungkan, atau memalsu kenyataan, atau memutarbalikkan fakta, sehingga kekacauan dunia bisa disetir oleh mereka.
Sebagai saluran komunikasi, Media massa diyakini tidak bebas dari kepentingan. Walaupun seringkali media mengklaim dirinya netral, tidak berpihak, independen atau berada di tengah. Tetapi secara faktual, media berada pada motif dan kepentingan tertentu. Hal ini bisa kita lihat dari pemberitaan yang berbeda-beda, walaupun faktanya sama. Dan kadangkala, fakta yang disampaikan berbeda-beda walaupun dari satu peristiwa yang sama.
Karenanya belakangan ini seringkali media dijadikan sarana dan alat untuk mencapai kepentingan tertentu. Bahkan tak jarang media melakukan penyesatan opini, sehinggga opini publikpun akhirnya terbentuk. Bagaimana tekhnik media untuk membentuk opini publikatau bisa jadi penyesatan opini publik demi kepentingan tertentu, berikut beberapa tekhniknya
1.      Name calling (nama julukan)
Propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Tujuannya agar orang menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksi atau memeriksanya terlebih dahulu. Contoh istilah ”Muslim garis keras” sebagai lawan dari ”Muslim moderat”, digunakan untuk memberikan kesan negatif pada pelaku penegak syariat Islam. Negara yang tidak sejalan dengan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah dicap sebagai ”negara militan”, sementara negara yang sejalan dengan AS disebut ”negara sahabat” atau ”negara moderat”.

2.      Glittering Generalities (generalitas gemerlapan)
Teknik propaganda ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan mengidentifikasi dirinya dengan segala sesuatu yang serba luhur dan agung. Ungkapan kata-kata ”demi keadilan dan kebenaran” menjadi salah satu ciri teknik propaganda ini. Teknik ini dimunculkan untuk memengaruhi persepsi masyarakat agar mereka ikut serta mendukung gagasan propagandis. Kadang sang propagandis sangat menonjolkan dirinya dengan sebutan agung dan luhur serta menganggap dirinyalah paling benar sedangkan orang lain salah. Contoh, invasi AS ke Irak dan Afganistan atas nama demokrasi demi keadilan dan kebenaran. Padahal dari invasi tersebut jutaan kaum Muslim menjadi korban.

3.      Transfer (pengalihan)
Pelaku propaganda berupaya mengidentifikasikan suatu gagasan, seseorang, suatu negara, atau kebijakan dengan mengalihkannya pada gagasan atau kebijakan yang bertolak belakang. Hal ini untuk menimbulkan citra jelek pada gagasan atau kebijakan pihak musuh. Misalnya, Khilafah Islamiyah atau negara Islam dijuluki sebagai ‘negara pada zaman batu’, ‘sistem abad kegelapan’, ‘sistem utopis’, ‘sistem penuh darah’, serta julukan-julukan negatif lainnya.

4.      Testimonials (kesaksian)
Berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa idenya adalah baik atau buruk. Propagandis, misalnya, menggunakan narasumber yang diberi gelar ‘pakar’, ‘ahli’, ‘yang berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan para pendengarnya.

5.      Plain Folk (orang sederhana)
Setiap pelaku propaganda sadar bahwa masalah bertambah rumit jika ia tampak pada pendengarnya sebagai ‘orang asing’. Karena itu, mereka berupaya mengidentifikasikan diri sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran dengan menggunakan logat, aksen, dan ungkapan setempat. . Cara yang paling efektif adalah merekayasa seseorang untuk menjadi tokoh, sumber rujukan, atau ilmuwan yang kompeten. Hal ini dilakukan lewat proses pendidikan, rekayasa media dengan menampilkan tokoh tersebut secara terus-menerus, atau dengan memberinya gelar/penghargaan. Jadi, umat Islam harus waspada, kalau ada calon tokoh atau tokoh, yang idenya bertentangan dengan Islam bahkan menyerang Islam, tetapi mendapat banyak penghargaan dari Barat. Misalnya, SBY yang dinobatkan sebagai 100 tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Times, Musdah Mulia yang selalu dirujuk oleh media ketika ada permasalahan perempuan, dan sebagainya.

6.      Card Stacking (pilihan fakta)
Hampir semua propaganda biasanya melakukan pilihan fakta, meskipun aktual namun jarang rinci. Pilihan ini biasanya digunakan untuk melakukan generalisasi. Perjuangan syariat Islam diidentikkan dengan kekerasan. Kesimpulan ini dibangun dengan memilih fakta adanya aksi kekerasaan yang dilakukan oleh sekelompok kaum Muslim yang ingin menegakkan syariat Islam (itu pun sering tanpa bukti hukum). Sementara itu, adanya fakta lain berupa perjuangan syariat Islam tanpa kekerasaan—seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di Uzbekistan, Yordania, Mesir, dan belahan dunia lainnya—cenderung ditutupi. Akibatnya, ada kesan kuat bahwa perjuangan syariat Islam identik dengan teror dan kekerasan

7.      Bandwagon technique (ikut pihak yang banyak)
Teknik ini memanfaatkan keinginan pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’ dengan orang banyak. Teknik paling sering digunakan oleh AS dalam kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’-nya saat ini dengan menyatakan bahwa terorisme adalah serangan terhadap dunia. Sama halnya dengan ungkapan para penolak syariat Islam yang sering menggunakan ungkapan, ‘mayoritas umat Islam Indonesia adalah moderat’, ‘organisasi Islam terbesar di Indonesia saja menolak syariat Islam’, ‘mereka itu hanya minoritas’, dan lainnya. Padahal jelas, kebenaran tidaklah bergantung pada suara mayoritas.



Sumber: http://www.suara-media.com/2011/11/7-tehnik-media-membuat-penyesatan-opini.html