KENDURI tak mengenal musim di Aceh. Bahkan, di kala perang,
kenduri tetap berjalan. Begitulah, lewat kenduri orang Aceh saling mengikatkan
diri.
Aroma kenduri Maulid tercium di awal pagi di Desa Pupu, Kecamatan
Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, pertengahan Februari lalu. Lepas subuh, Aisyah (51)
dan Mardianah (38) sibuk menyiapkan aneka masakan yang akan dibawa ke meunasah
(musala) tempat kenduri berlangsung. Tangan mereka cekatan membungkus nasi
berbentuk kerucut dengan daun pisang batu.
Nasi itu lantas disusun meninggi di atas sebuah nampan bersama
aneka lauk terbaik, mulai telur balado, rendang, kuah sup, hingga kari itik.
Semakin tinggi isi nampan itu menunjukkan makin mapan si pembuat secara
ekonomi. Nurdin, Kepala Museum Aceh, mengatakan, orang-orang kaya dulu menyusun
hingga tujuh lapis lauk di atas nampan hidangan untuk dibawa ke meunasah.
Sekitar pukul 11.00, nampan berisi aneka masakan buatan Aisyah dan
Mardianah dibawa ke meunasah. Di sana sudah ada belasan nampan lain yang
disumbangkan warga. Dengan iringan doa, tetamu menyantap hidangan yang
tersedia. Jika tidak habis, tetamu wajib membawa pulang hidangan. ”Kalau sampai
ada sisa, kami bisa marah. Sebab, makanan yang kami hidangkan adalah sedekah,”
kata Aisyah.
Maulid adalah salah satu kenduri wajib yang dirayakan
besar-besaran di Aceh. Snouck Hurgrounje dalam buku Aceh di Mata Kolonialis
menyebutkan, Maulid di Aceh tidak hanya terkait peringatan kelahiran Nabi
Muhammad SAW, tetapi juga terkait ketaatan kepada Kerajaan Turki yang
melindungi Kesultanan Aceh. Sultan Turki berpendapat, Aceh yang letaknya cukup
jauh dari Turki tidak perlu mengirimkan upeti setiap tahun. Sebagai gantinya,
Sultan memerintahkan Aceh menunjukkan ketaatannya dengan memperingati Maulid
setiap tahun secara bersama-sama.
Itulah yang terjadi hingga kini. Desa-desa bergantian menggelar
kenduri Maulid. Mereka saling mengundang dan mengunjungi. Jika sebuah desa
menggelar kenduri Maulid, semua warga ikut terlibat. ”Ada yang menyumbang makanan,
ada yang menyumbang tenaga demi menjamu tamu,” ujar Geucik(kepala desa) Pupu,
Idris Yusuf.
Peringatan Maulid di Aceh merentang hingga empat bulan. Tahun ini,
peringatan Maulid dimulai akhir Januari dan berakhir April nanti. Sepanjang
waktu itu, ada saja kampung yang menggelar kenduri. Ketika berkunjung ke rumah
Cut Rahmi di Montasik, Aceh Besar, ia mengundang kami untuk menghadiri kenduri
esok harinya. Undangan serupa datang ketika kami bertandang ke rumah Cut Nyak
Mizar di Meulaboh, Aceh Barat.
Maulid tidak hanya berlangsung di masa damai. Pada masa konflik
antara GAM dan Pemerintah RI memanas, tentara-tentara GAM yang bergerilya di
hutan tidak ketinggalan menggelar Maulid. Azhar Abdurrahman, mantan tentara GAM
yang kini menjabat Bupati Kabupaten Pidie Jaya mengenang, setiap musim Maulid
tiba, ia dan beberapa temannya berburu rusa.
Jika rusa tak didapat, mereka turun ke kampung untuk meminta
sumbangan kambing kepada kerabat dan memesan bumbu kari. Daging rusa atau
kambing itu lantas dimasak dengan bumbu kari lengkap di markas besar GAM di
wilayah Lamno. Sejenak mereka melupakan perang dan beralih pesta kari.
”Itulah saat paling menyenangkan di dalam hutan. Buat kami Maulid
itu wajib digelar pada masa damai ataupun perang,” ujar Azhar menegaskan. Tidak
hanya Maulid, Azhar juga menggelar kenduri lainnya pada masa perang. Ketika
anaknya berusia 40 hari, Azhar menyelinap ke rumahnya hanya untuk menggelar
kenduri menjejakkan kaki anak ke tanah.
Begitulah, ada sederet kenduri yang biasa digelar masyarakat Aceh.
Ada kenduri yang terkait dengan perayaan agama Islam, seperti Isra Miraj,
Nuzulul Quran, dan Asyura. Ada kenduri yang terkait dengan daur hidup seseorang
seperti kelahiran, sunatan, pernikahan, hingga kematian. Ada pula kenduri petani
dan kenduri nelayan. Orang membangun rumah pun menggelar kenduri. Pindah rumah,
mereka bikin kenduri lagi.
“Pokoknya, orang Aceh punya banyak alasan untuk membuat kenduri.
Ketika hati senang karena dapat uang, orang Aceh bikin kenduri. Ketika hati
galau pun kami bikin kenduri,” kata Reza Idria, antropolog dari IAIN Ar Raniri,
Banda Aceh.
Ia mencontohkan, seorang kerabatnya yang bermimpi bertemu almarhum
orangtuanya. Wajah almarhum terlihat masam. ”Besoknya dia bikin kenduri
selamatan untuk almarhum. Buat orang Aceh kenduri itu bermakna sedekah. Semakin
sering kenduri, semakin sering sedekah,” kata Reza.
Tidak mengherankan jika orang Aceh sepanjang tahun sibuk menggelar
atau menghadiri undangan kenduri. ”Dalam dua minggu ini saya sudah menghadiri
delapan kenduri, mulai dari akikah, pernikahan, maulid, hingga kenduri arisan,”
ujar Reza yang mengaku sering kewalahan dengan aneka undangan kenduri.
Kalau Reza kewalahan, Rahman justru tidak. Dia dan teman-teman
bahkan membentuk ”pasukan pemburu kenduri” yang kerjanya mengejar ke mana
kenduri pergi. ”Lumayan bisa makan gratis,” katanya.
Sebanyak apa pun undangan kenduri yang datang, orang Aceh berusaha
untuk memenuhinya. Pasalnya, kata Reza, kenduri adalah mekanisme sosial orang
Aceh untuk saling mengikatkan diri dan saling mengunjungi. Agar ikatan sosial
makin kuat, adat membuat setiap kampung saling bergantung. Di Gampong Lam U,
Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, misalnya, setiap meunasah hanya boleh
memiliki dua kuali meski mereka sebenarnya memerlukan empat kuali.
”Tujuannya agar ketika masak kari untuk kenduri, pengurus meunasah
meminjam kuali kepada meunasah lain,” ujar Reza.
Tradisi kenduri di Aceh telah berumur panjang. Anthony Reid dalam
buku Menuju Sejarah Sumateramenuliskan, raja-raja kesultanan Aceh biasa
menggelar aneka kenduri dan perayaan megah yang disertai aneka hiburan termasuk
untuk menjamu utusan asing. Meskipun, menurut Snouck Hurgrounje, (ketika itu)
masyarakat Aceh kebanyakan masih kurang makan.
Reid menambahkan, ketika menjamu utusan Inggris, Thomas Best,
Sultan Iskandar Muda menyuguhkan paling tidak 400 jenis makanan dan minuman
yang cukup untuk santapan beratus-ratus prajurit. Begitulah, kenduri dan
perayaan besar sekaligus digunakan untuk memperlihatkan kemegahan dan kejayaan
kerajaan.
Orang asing yang melihatnya akan terpukau seperti yang diperlihatkan
John Davis, petualang Inggris yang datang ke Aceh pada abad ke-16. Ia
geleng-geleng kepala melihat kemewahan pesta yang digelar Sultan Aceh dari pagi
hingga petang. ”Raja seperti ’dewa anggur’ dan sukacita,” katanya.