Akar
Permasalahan
Pada tahun 1927, seorang pendeta Kristen asal Irak
dan guru besar di Universiti Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba
saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana
telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani dan kitab
suci Kristian yang berbahasa Yunani.Seruan semacam itu dilatar-belakangi oleh
kekecewaan orang-orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan
oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan kitab suci al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen
sudah sejak lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima
kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti
bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia didalamnya,
sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang
bukan.
Pada tahun 1834 di Jerman, seorang orientalis
bernama Gustav menerbitkan ‘mushaf’
hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus
Arabicus. Kemudian datang Theodor yang berusaha merekonstruksi sejarah al-Qur’an
dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang
belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal.
Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang
ingin mendekonstruksi Mushaf Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal
Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru
besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks al-Qur’an
berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang
katanya mengandung varian bacaan dalam “mushaf-mushaf
tandingan.”
Jeffery bermaksud meneruskan upaya Gotthelf dan Otto
Pretzl dua orientalis yang pernah bertungkus-lumus mengumpulkan foto
lembaran-lembaran manuskrip al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis
al-Qur’an tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia
ke-II berkecamuk sebuah ambisi yang belum lama ini seorang aktivis Liberal di Indonesia, didorongkan oleh minatnya
yang berlebih terhadap qira’at-qira’at lemah lagi menyeleweng, Bergstrasser berupaya
mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalawayh.
Bagi para orientalis ini, ‘isnad’ tidak penting
karena itu, riwayat yang ‘shadzdz’
boleh saja dianggap ‘shahih’, yang ‘ahad’ dan ‘gharib’
boleh saja menjadi ‘mutawatir’ dan ‘masyhur’, dan yang cacat disamakan
dengan yang sempurna. mengetepikan yang fundamental dan mengetengahkan yang
trivial. Itulah sebabnya mengapa mereka sibuk mengorek-orek isu nasikh-mansukh,
isyu adanya surat tambahan versi golongan Syi’ah, isyu “Gharaniq” dan
lain sebagainya. Ada pula orientalis yang ingin merombak susunan ayat dan surah
al-Qur’an secara kronologis, mau mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun mengubah
redaksi sebagian ayat-ayatnya.
Kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan hadist tidak
sebatas mempertanyakan otentisitinya. Isu
yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster,
dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an. Ada yang berusaha
mengungkapkan segala yang boleh dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan
pengaruh’ tersebut, seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristian (semisal
Abraham Geiger, Clair Tisdall, ), ada
pula yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain
sebagainya. Biasanya mereka mengatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an
banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih
akurat.
Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan
negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Walau bagaimanapun, segala upaya mereka ibarat
buih, muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan
dan penghormatan mayoritas Umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an, apakah
lagi membuat mereka murtad.
Al-Qur’an merupakan target utama serangan
missionaris dan orientalis Yahudi-Kristian, setelah mereka gagal menghancurkan
sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau,
meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak
lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani,
Wellhausen, dan konco-konconya. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi
Nabi Muhammad saw khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin Umat Islam
melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan
Nabi ‘Isa as.
Bagi mereka ‘Moses’ cuma tokoh fiktif dalam dongeng Bible, manakala tokoh ‘Jesus’
masih lagi diliputi misteri dan ceritera-ceritera bohong dan palsu. Dalam
logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus historikal’ mengapa tidak ada
usaha menemukan fakta sejarah mengenai Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka.
mereka tidak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai kepala
perampok. Usahanya tersebut diteruskan kemudian oleh Peters dan belum lama ini diulangi lagi oleh
seorang dengan nama samaran “Ibn Warraq.”
Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari
bahwa tulisan mereka sesungguhnya hanya menunjukkan kebusukan-hati dan
kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji. Sikap semacam ini
juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadis. Mereka menyamakan Sunnah
dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristian atau tradisi Aggada dalam agama
Yahudi.
Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku
untuk hadis mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadis muncul
beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad saw wafat, bahwa hadis mengalami
beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad)
mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadis secara systematis (isnad),
menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat ‛Abbasiyyah. mereka beranggapan
bahwa dari sekian banyak hadis hanya sedikit saja yang otentik, manakala
sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth dan para pengikutnya.
Para orientalis missionaris ini ingin
supaya Umat Islam membuang tuntunan Rasulullah saw sebagaimana orang Kristian
meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.
Kajian keislaman pada mulanya hanya ditujukan
kepada materi-materi keislaman secara umum. mereka mengarahkan kajiannya secara khusus
kepada bidang hadits nabi. Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, sarjana Barat yang
pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher
(1850-1921), seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria dengan karya berjul
(Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan semacam “kitab suci” para
orientalis saat ini.
Penelitian hadits diteruskan oleh Joseph yang juga
merupakan seorang Yahudi orientalis. Bukunya yang terkenal berjudul The Origins
of Muhammaden Jurisprudence. “Keunggulan” Schacht ialah kemampuannya dalam
membuat kesimpulan bahwa “tidak ada satu hadits pun yang otentik dari
Rasulullah Saw, khususnya hadits yang bersangkutan dengan hukum Islam.” Namun
demikian, Goldziher hanya sekadar meragukan keotentikan hadits nabi.
Kajian dan penelitian mereka terhadap hadits
berpijak pada metode yang aneh dan mengherankan. Sebelum melakukan penelitian,
mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sendiri, untuk kemudian
mencari dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya.Baik Goldziher maupun Schact
berpendapat bahwa hadits tidak berasal dari Rasulullah Saw melainkan sesuatu
yang lahir pada abad pertama dan kedua hijriah. Dengan kata lain, hadits
adalah buatan ulama abad pertama dan kedua dan tidak ditulis pada zaman
Rasulullah Saw.
Permasalahan Tentang Al-Qur’an Dan Hadist
Kitab suci al-Qur’an ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi
dan perlu diingat:
1. Pada
prinsipnya al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ tetapi merupakan ‘bacaan’ dalam arti
ucapan dan sebutan. Baik proses turun dan pewahyuannya maupun penyampaian,
pengajaran dan periwayatan atau transmisinya dilakukan melalui lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’
al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan” Sementara tulisan berfungsi
sebagai penunjang semata-mata. Sebabnya karena ayat-ayat al-Qur’an dicatat
–yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan
hafalan, dengan isnad secara mutawatir
dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian
al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril as kepada Nabi saw dan
diteruskan kepada para Sahabat, demikian sehingga hari ini. Ini berbeda dengan teks
Bible, yang tulisan–yakni manuscript evidence dalam bentuk papyrusdan
scroll. Orientalis semacam
Jeffery, bertolak
dari sebuah asumsi keliru, menganggap al-Qur’an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau
teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi
yang keliru ini mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim
digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source
criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka
menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product), hasil
rakaman situasi orang Arab abad ke-7 dan 8M. Mereka juga mengatakan bahwa
mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka
sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka konon mau membuat edisi
kritis , ingin merestorasi teks al-Qur’an dan bercadang membuat naskah baru
berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa mereka menyamakan al-Qur’an
dengan Bible telah diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, Profesor di Universiti
Saarbrücken, Jerman: “Bercermin dari [sejarah Kristian], dimana ajaran dan
riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatik dan dibangun melalui tradisi
[yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai
munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah [yang sesungguhnya] hampir
mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kes ini] boleh jadi tradisi
[riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad saw pun (yakni, al-Qur’an dan Hadis) .
2. Pada
prinsipnya al Qur’an diterima
dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai
medium tulisan. Sehingga wafatnya Rasulullah saw, hampir seluruh
catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu
berbeda kualiti dan kuantitinya satu sama lain. Karena untuk keperluan
masing-masing banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau
komentar di pinggir ataupun di sela-sela antara ayat yang mereka tulis. Baru
kemudian, menyusul jumlah penghafal
al-Qur’an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi pun dilakukan oleh sebuah jawatan-kuasa yang
dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Siddiq sehingga al-Qur’an
dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung dan mutawatir dari Nabi saw. Setelah wafatnya
Abu Bakr ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‛Umar ra sampai
beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan
kepada Khalifah ‛Uthman ra. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan
sejumlah Sahabat, sebuah jawatan-kuasa pakar sekali lagi dibentuk dan diminta
mendata kembali semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai
kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah
kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar
yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawatir yang disepakati kesahihan
periwayatannya dari Nabi saw. Jadi
Para orientalis yang ingin mengubah-ubah al-Qur’an biasanya akan memulai dengan
mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa
sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses
kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Orientalis juga mengklaim
bahwa di sini nampak jelas
bagaimana Jeffery tidak mengerti, berpura-pura tak tahu dan sengaja lupa bahwa
al-Qur’an tidak sama sejarahnya dengan Bible, bahwa al-Qur’an bukan lahir dari
manuskrip.
3. Faham
orientalis mengenai rasm dan qira’at. Tulisan Arab atau khat
mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, al-Qur’an
ditulis ‘gondol’, tanpa tanda-baca sedikitpun. Sistem vokalisasi baru
diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‛Uthmani sama sekali tidak
menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar al-Qur’an
langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan.
Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Disinilah orientalis
semacam Jeffery, Puin dan Luxenberg telah salah-faham dan keliru, lalu
menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul ini menyebabkan sebagaimana terjadi
dalam kes Bible. Mereka juga keliru menyamakan qira’at dengan ‘readings’,
padahal qira’at adalah ‘recitation from memory’ dan bukan ‘reading the text’.
Mereka tidak faham bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus
mengikuti bacaan yang diriwayatkan dari Nabi saw dan bukan sebaliknya.
Orientalis juga salah-faham mengenai ‘rasm’ al-Qur’an. Dalam bayangan keliru
mereka, bermacam-macam qira’at jawatan-kuasAbūl karena rasm yang sangat
sederhana itu, sehingga setiap pembaca boleh saja membaca sesuka-hatinya. Padahal ragam qira’at
telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa
rasm al-Qur’an telah disepakati dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
mewakili dan menampung pelbagai qira’at yang diterima.
Para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya
sebuah qira’at, yaitu:
1. Diriwayatkan
secara mutawātir.
2. Sesuai
dengan rasm mushaf ‛Uthmani atau–lebih tepatnya–sesuai dengan salah satu dari enam masahif ‛Uthmāni yang
dikirim ke Mekkah, Basrah, Kufah, Damaskus, Madinah, dan yang disimpan oleh
Khalifah ‛Uthmān ra sendiri.
3. Sesuai dengan salah satu
kaidah bahasa Arab. Di sini, yang dimaksud dengan syarat “sesuai dengan salah
satu masahif rasm ‛Uthmani” adalah “sesuai dengan qira’āt yang ditulis dalam
mushaf tertentu, meskipun tidak pada yang lain.” Contohnya, QS 26:217. Dalam
mushaf yang dikirim ke Madinah dan Damaskus.
Permasalahan
Hadits
Hadits adalah buatan ulama abad pertama dan kedua
dan tidak ditulis pada zaman Rasulullah Saw dengan mudah dapat terbantahkan.
Abdullah Ibnu Umar ialah sahabat Nabi yang paling banyak menulis hadits
dibandingkan Abu Hurairah. Abu Hurairah menyatakan bahwa Abdullah Ibnu Umar
mencatat apa-apa yang tidak ia catat. Artinya, banyak hal yang masih belum Abu
Hurairah catat dibandingkan Ibnu Umar. Rasulullah Saw pernah berkata kepada
Ibnu Umar, “Catatlah dari aku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar saja.”
Tuduhan selanjutnya ialah bahwa para sahabat tidak
menghafal hadits. Hal ini juga termasuk dalam kelalaian dan kecerobohan para orientalis
dalam melihat sejarah. Mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Saw setiap berbicara
selalu mengulanginya tiga kali, agar apa yang dikatakan benar-benar diserap
oleh para sahabat yang kadar hafalannya tidak sama. Ada yang cepat menghapal
dan ada pula yang lamban. Para sahabat seperti ini dikenal sebagai umat yang
ummy, tidak bisa membaca dan menulis. Mereka hanya mengandalkan hafalan saja,
namun hafalan mereka melebihi orang yang mencatat.
Para orientalis pun seringkali meragukan
kredibilitas para rawi hadits dan ulama hadits. Padahal, terdapat sebuah
disiplin ilmu yang dibuat oleh ulama hadits terkemuka seperti Ibnu Abi Hatim
ar-Razi dalam kitabnya Jarh Wa Ta’dil. Jarh berarti mencela, sedangkan ta’dil
berarti memuji. Jarh wa Ta’dil berguna untuk menilai para rijal hadits. Dari
sini kita dapat mengetahui keadaan masing-masing riwayat hidup para rawi.
Dengan ilmu ini juga, hadits Rasulullah dapat terjaga keasliannya. Jarh wa
Ta’dil sebenarnya sudah ada dalam al-Quran: “Jika datang seorang fasiq membawa
kabar, telitilah!” Selain itu, ilmu jarh tidak termasuk dalam ghibah.
Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang
dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
karena kelemahan metodenya. Hal itu dsebabkan para ulama lebih banyak
menggunakan metode kritik sanad saja tanpa kritik matan. Kemudian Goldziher
menawarkan metode kritik matan saja. Sebenarnya para ulama klasik sudah
menggunakan metode kritik matan, hanya saja apa yang dimaksud dengan kritik
matan menurut orientalis berbeda dengan istilah para ulama klasik. Menurut
Goldziher, kritik matan hadits mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains,
sosial, kultural, dan lain-lain.
Contohnya,
Imam Muslim meriwayatkan hadits : “Dikatakan kepada Ibnu Umar: bahwa Abu
Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Siapa yang mengiringi
jenazah, bagi dia banyak pahala” lalu Ibnu Umar berkata, “Kau telah banyak
bercerita wahai Abu Hurairah.” Lalu hadits ini dikirim kepada Siti Aisyah dan
dia membenarkannya. Ketika itu Ibnu Umar berkata, “Telah berlalu dari kami
banyak pahala.” Di sini jelas bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar, sangat
berhati-hati terhadap apa yang telah disampaikan oleh Abu Hurairah karena dia
takut jika Abu Hurairah salah dan keliru dalam hafalannya. Setelah dibenarkan
oleh Aisyah, maka Ibnu Umar mengetahui bahwa Abu Hurairah benar-benar hafal dan
kuat ingatannya.
Dari penelusuran dan penelitian para ulama terhadap
tuduhan Goldziher, ternyata tuduhan itu seringkali ahistoris dan irasional.
Beberapa contoh di antaranya adalah sebagai berikut:
Goldziher berpendapat bahwa hadits secara
keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal
abad ketiga hijriah dan bukan ucapan Nabi Saw. Alasannya adalah bahwa hukum
syariah tidak dikenal oleh umat Islam pada kurun pertama, sehingga para ulama
di abad ketiga banyak yang tidak tahu tentang sejarah Rasulullah Saw. Dia
menukil dari tulisan ad-Darimy, seorang Arab Muslim dalam bukunya Hayat
al-Hayawan (Dunia Hewan) bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti
tentang Perang Badar, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya.
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit
penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan hal demikian. Padahal Abu
Hanifah seorang ulama terkenal dan paling banyak berbicara tentang peperangan
dalam Islam melalui bukunya. Buku-buku karangan murid-murid Imam Abu Hanifah
soal sejarah pun mengisyaratkan keluasan ilmu gurunya tentang sejarah Islam.
Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan
Jurisprudence berkesimpulan bahwa hadits-hadits, terutama yang berkaitan dengan
hukum Islam ialah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Dia
berkata, “Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari
Nabi yang dapat dipertimbangkan kesahihannya.”
Untuk mendukung kesimpulan ini, Schacht mengajukan konsep
“proyeksi ke belakang”, yaitu mengaitkan pendapat para ahli fiqh abad kedua
dan ketiga pada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat ini mendapat legitimasi
dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih mapan. Menurutnya, para ahli fiqh
telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah
Saw, sehingga membentuk sanad hadits. Inilah fondasi terbentuknya sanad hadits
menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik dari Nabi Saw.