Media
menjadi alat yang efektif dalam sebuah agenda propaganda. Itulah mengapa Negara
kuat termasuk Yahudi begitu berambisi menguasai Media. Salah satu taktik
konspirasi yang dilakukan Free Masonry (organisasi Yahudi) adalah menguasai
alat komunikasi dan media massa. Karena ia sangat efektif sebagai senjata dalam
membuat berita yang membingungkan, atau memalsu kenyataan, atau memutarbalikkan
fakta, sehingga kekacauan dunia bisa disetir oleh mereka.
Sebagai
saluran komunikasi, Media massa diyakini tidak bebas dari kepentingan. Walaupun
seringkali media mengklaim dirinya netral, tidak berpihak, independen atau
berada di tengah. Tetapi secara faktual, media berada pada motif dan
kepentingan tertentu. Hal ini bisa kita lihat dari pemberitaan yang
berbeda-beda, walaupun faktanya sama. Dan kadangkala, fakta yang disampaikan
berbeda-beda walaupun dari satu peristiwa yang sama.
Karenanya
belakangan ini seringkali media dijadikan sarana dan alat untuk mencapai
kepentingan tertentu. Bahkan tak jarang media melakukan penyesatan opini,
sehinggga opini publikpun akhirnya terbentuk. Bagaimana tekhnik media untuk
membentuk opini publikatau bisa jadi penyesatan opini publik demi kepentingan
tertentu, berikut beberapa tekhniknya
1. Name
calling (nama julukan)
Propaganda
dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Tujuannya agar orang
menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksi atau memeriksanya
terlebih dahulu. Contoh istilah ”Muslim garis keras” sebagai lawan dari ”Muslim
moderat”, digunakan untuk memberikan kesan negatif pada pelaku penegak syariat
Islam. Negara yang tidak sejalan dengan Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah
dicap sebagai ”negara militan”, sementara negara yang sejalan dengan AS disebut
”negara sahabat” atau ”negara moderat”.
2. Glittering
Generalities (generalitas gemerlapan)
Teknik
propaganda ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan mengidentifikasi
dirinya dengan segala sesuatu yang serba luhur dan agung. Ungkapan kata-kata
”demi keadilan dan kebenaran” menjadi salah satu ciri teknik propaganda ini.
Teknik ini dimunculkan untuk memengaruhi persepsi masyarakat agar mereka ikut
serta mendukung gagasan propagandis. Kadang sang propagandis sangat menonjolkan
dirinya dengan sebutan agung dan luhur serta menganggap dirinyalah paling benar
sedangkan orang lain salah. Contoh, invasi AS ke Irak dan Afganistan atas nama
demokrasi demi keadilan dan kebenaran. Padahal dari invasi tersebut jutaan kaum
Muslim menjadi korban.
3. Transfer
(pengalihan)
Pelaku
propaganda berupaya mengidentifikasikan suatu gagasan, seseorang, suatu negara,
atau kebijakan dengan mengalihkannya pada gagasan atau kebijakan yang bertolak
belakang. Hal ini untuk menimbulkan citra jelek pada gagasan atau kebijakan
pihak musuh. Misalnya, Khilafah Islamiyah atau negara Islam dijuluki sebagai
‘negara pada zaman batu’, ‘sistem abad kegelapan’, ‘sistem utopis’, ‘sistem
penuh darah’, serta julukan-julukan negatif lainnya.
4. Testimonials
(kesaksian)
Berisi
perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa idenya adalah baik atau
buruk. Propagandis, misalnya, menggunakan narasumber yang diberi gelar ‘pakar’,
‘ahli’, ‘yang berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan
para pendengarnya.
5. Plain
Folk (orang sederhana)
Setiap
pelaku propaganda sadar bahwa masalah bertambah rumit jika ia tampak pada
pendengarnya sebagai ‘orang asing’. Karena itu, mereka berupaya
mengidentifikasikan diri sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran
dengan menggunakan logat, aksen, dan ungkapan setempat. . Cara yang paling efektif
adalah merekayasa seseorang untuk menjadi tokoh, sumber rujukan, atau ilmuwan
yang kompeten. Hal ini dilakukan lewat proses pendidikan, rekayasa media dengan
menampilkan tokoh tersebut secara terus-menerus, atau dengan memberinya
gelar/penghargaan. Jadi, umat Islam harus waspada, kalau ada calon tokoh atau
tokoh, yang idenya bertentangan dengan Islam bahkan menyerang Islam, tetapi
mendapat banyak penghargaan dari Barat. Misalnya, SBY yang dinobatkan sebagai
100 tokoh berpengaruh di dunia versi majalah Times, Musdah Mulia yang selalu
dirujuk oleh media ketika ada permasalahan perempuan, dan sebagainya.
6. Card
Stacking (pilihan fakta)
Hampir
semua propaganda biasanya melakukan pilihan fakta, meskipun aktual namun jarang
rinci. Pilihan ini biasanya digunakan untuk melakukan generalisasi. Perjuangan
syariat Islam diidentikkan dengan kekerasan. Kesimpulan ini dibangun dengan
memilih fakta adanya aksi kekerasaan yang dilakukan oleh sekelompok kaum Muslim
yang ingin menegakkan syariat Islam (itu pun sering tanpa bukti hukum).
Sementara itu, adanya fakta lain berupa perjuangan syariat Islam tanpa
kekerasaan—seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di Uzbekistan, Yordania,
Mesir, dan belahan dunia lainnya—cenderung ditutupi. Akibatnya, ada kesan kuat
bahwa perjuangan syariat Islam identik dengan teror dan kekerasan
7. Bandwagon
technique (ikut pihak yang banyak)
Teknik
ini memanfaatkan keinginan pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’
dengan orang banyak. Teknik paling sering digunakan oleh AS dalam kampanye
‘Perang Melawan Terorisme’-nya saat ini dengan menyatakan bahwa terorisme
adalah serangan terhadap dunia. Sama halnya dengan ungkapan para penolak
syariat Islam yang sering menggunakan ungkapan, ‘mayoritas umat Islam Indonesia
adalah moderat’, ‘organisasi Islam terbesar di Indonesia saja menolak syariat
Islam’, ‘mereka itu hanya minoritas’, dan lainnya. Padahal jelas, kebenaran
tidaklah bergantung pada suara mayoritas.
Sumber:
http://www.suara-media.com/2011/11/7-tehnik-media-membuat-penyesatan-opini.html