Menipu
dan ditipu, itulah yang terjadi di Aceh sepanjang masa. Semenjak kapan dimulai
dan siapa yang memulainya, dalam tulisan ini mungkin sedikit terjawab hingga
menjadi renungan bersama. Entah sudah terjadi sebelumnya tapi yang pasti
sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Aceh bagaikan raksasa yang kehabisan tenaga,
kelelahan lalu tertidur.
Dalam
suasana yang tertidur inilah Aceh mulai ditipu oleh bangsanya sendiri yang
entah kapan berakhir. Biarpun pucuk pimpinan yang memerintah Republik Indonesia
silih berganti, namun derita Aceh yang tertipu tetap berlanjut.
Sejarah
telah mencatat, dalam perjalanan bangsa Aceh dari sejak nenek moyang, orang
Aceh cukup lihai dan dikenal dengan tipu muslihat atau taktik untuk mewujudkan
sebuah cita cita terutama dalam politik perangangan. Bahkan Belanda mengakui
akan keunggulan dan kehebatan orang Aceh dalam hal yang satu ini.
Diantara
yang paling popular dan selalu dikenang adalah ketika, seorang pejuang dan
pahlawan Aceh bernama Teuku Umar Djohan Pahlawan mampu dan berhasil menipu
kolonial Belanda. Tipu muslihat Teuku Umar berawal ia bersedia berunding dan
mau bekerja sama membantu membujuk perlawanan masyarakat Aceh lainnya.
Tipu
yang dijalankan suami Tjoet Nyak Dien ini sukses dan membawa keuntungan besar.
Ratusan pucuk senjata berhasil dicuri lalu digunakan kembali untuk melawan
Belanda. Tipu muslihat semacam ini banyak diikuti pejuang dan masyarakat Aceh
terutama dalam perjuangan membela bangsa Aceh melawan penjajah.
Tipu-tipu
pejuang Aceh ini sudah sangat dikenal luas bahkan sempat menjadi bagian dari
catatan seorang pengarang asal Jawa Barat dalam bukunya berjudul “Aceh di Mata
Urang Sunda”. Hingga kini, Aceh selain dikenal pandai menipu juga kerap tertipu
atau dibohongi. Pengalaman tertipu dan dibohongi mulai tercatat dalam sejarah
pergolakan DI TII di Aceh yang dicetuskan Daun Beureueh.
Beberapa
pakar sejarah Aceh, seperti Drs Rusdi Sufi, menyebutkan, di balik tipu-tipu
Aceh, sebenarnya cukup banyak tipu-tipu Pemerintah Pusat terhadap Aceh. Hingga
dia meminta para pemimpin maupun generasi Aceh kedepan harus berhati-hati dan
jangan mudah terbuai dengan janji semu Pemerintah Pusat. Intinya, masyarakat
harus tetap bersatu agar tidak mudah dikelabui.
Sementara
pemerhati sejarah Aceh lainnya, Ramli A Dally juga ikut mengingatkan, teknik
tipu yang dilancarkan Jakarta terhadap Aceh hingga saat ini masih berlangsung.
Dicontohkan, butir butir UUPA yang diibaratkan sebagai seekor ular, meski
kepalanya dilepas, namun ekornya tetap dipegang.
Sejarah
Aceh yang banyak dibohongi dan tertipu, misalnya pada tahun 1948, saat masa
revolusi kemerdekaan atau setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
seluruh kawasan Indonesia telah diduduki kembali oleh Belanda, kecuali Aceh.
Disini, setelah Belanda menyerah kepada sekutu, pada September tahun 1948
tentera sekutu masuk ke Indonesia untuk menerima penyerahan Jepang kepada
Indonesia.
Namun
saat itu penguasa sipil Belanda yakni NICA (Nederlandsch Indie Civil
Administratie) menyusup masuk dan kembali menduduki Indonesia. Bahkan Presiden
Soekarno ditangkap saat itu. Satu-satukawasan yang tidak dimasuki Belanda
adalah Aceh.
Tipu
pertama Jakarta terhadap Aceh adalah ketika Daud Beureueh meminta kepada
Presiden Soekarno agar khusus untuk Aceh diberlakuan syariat Islam. Soekarno
menyetujuinya. Aceh diberi hak berlaku syariat Islam. Namun Daud Beureueh dalam
permintaannya ini harus dibuat dalam bentuk perjajian hitam di atas putih atau
tertulis. Namun hal itu tak pernah terjadi. Soekarno dengan berlinang air mata
bahkan bersumpah akan mewujudkan hal itu.
Dia
mengaku tak perlu bukti tertulis karena Daud Beureueh merupakan orang yang
dihormatinya sehingga tak mungkin dikhianati. “Itulah tipu pertama yang terjadi
terhadap Aceh. “Presiden Soekarno saat itu tak bersedia membuat perjanjian
tertulis,” tulis Rusdi Sufi dalam bukunya.
Menurut
Rusdi Sufi, Soekarno dalam pertemuan lain bersama kalangan saudagar Aceh,
Soekarno meminta kepada para saudagar bahwa di seluruh Indonesia, telah
dibentuk semacam penggalangan dana untuk membeli pesawat karena Indonesia belum
memiliki pesawat. Untuk itu para saudagar Aceh juga diimbau untuk menyumbang
dana membeli pesawat.
Saat
itu semua saudagar yang hadir saling menatap dan terdiam. Lama terdiam,
Soekarno kembali bicara “Jika tak menjawab, saya tak akan makan siang dengan
para saudagar”, ucapnya. Akhirnya, saudagar setuju, maka terkumpulah sekitar 20
kilogram emas dari saudagar dan masyarakat Aceh.
Dari
sumbangan inilah menjadi cikal bakal lahirnya perusahaan penerbangan Indonesia
yaitu dari pesawat jenis Dakota RI-001 Seulawah yang dibeli rakyat Aceh dan.
replika pesawat tersebut sekarang terpajang dilapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Konon
setelah menyumbang untuk pesawat, para saudagar dan masyarakat Aceh juga pernah
membeli obligasi senilai puluhan kilogram emas. Obligasi ini rencananya
digunakan untuk membangun bank milik Pemerintah Indonesia, namun tak jelas
juntrungannya sehingga Aceh tak pernah memperoleh kontribusi secara maksimal.
Aceh kembali tertipu.
Kemudian
Aceh mendapat gelar Daerah Istimewa. Istimewa yang disandang Aceh hanya sebutan
saja karena tidak ada implentasi yang berarti selain lahirnya Unsyiah. Saat
itu, posisi perekonomian Aceh memang lebih maksimal dibanding dengan sejumlah
kawasan lainnya di seluruh Indonesia. Pasalnya, semua lautan dikuasai oleh
Belanda.
Saudagar
Aceh ketika itu berani menembus blokade Belanda di laut sehingga dapat
melakukan perdagangan dengan negara luar. Situasi ekonomi yang tergolong makmur
ini sangat bermanfaat bagi Pusat. Hingga dalam perjalanan dan situasi tersebut,
Aceh akhirnya dijadikan provinsi. Dan Daud Beureueh menjadi Gubernur pertama.
Namun
tak sampai setahun, tepatnya tahun 1950, pemerintah pusat memutuskan hanya ada
sepuluh provinsi di Indonesia. Aceh digabung dengan Sumatera Utara. Anehnya
ternyata jumlah provinsi bukanlah sepuluh, melainkan sebelas, karena secara
diam-diam, pemerintah menyetujui Jogjakarta menjadi provinsi, bahkan dengan
status istimewa.
Pemerintah
Aceh, tak terima dengan status ini. Namun pusat terus “mendesak”, status ini
harus diterima. Akhirnya Aceh kembali turun menjadi keresidenan. Merasa
dikhianati, maka pada September 1953 munculah gerakan DI/TII. Akibatnya, Aceh
diserang. Aceh tidak menyerah bahkan perlawanan Aceh semakin kuat. Situasi ini
terbaca oleh pemerintah pusat dari pengalaman bahwa Aceh tak dapat ditaklukkan
dengan kekerasan.
Lalu
pimpinan DI/TII diajak berdialog. Pemerintah Pusat berjanji akan mengembalikan
status Aceh menjadi provinsi, bahkan ditambah dengan embel-embel istimewa dari
segi Kebudayaan, Pendidikan, dan Agama. Kendati sudah berstatus provinsi
kewenangan tetap dibatasi. Misalnya saat Aceh menjalankan sistem dagang barter
dengan negara luar. kebijakan barter ini kemudian dicabut.
Lalu
pada tahun 1963, dalam rangka “Ganyang Malaysia, pemerintah Pusat menetapkan
status Sabang menjadi pelabuhan bebas. Namun status itu juga tidak disertai
peraturan teknis yang mengatur pelaksanaannya. Akhirnya beberapa tahun
kemudian, status pelabuhan bebas Sabang kembali dicabut dengan alasan
penyelundupan.
Tipuan
terhadap Aceh hingga kini masih saja terjadi. Hal ini terlihat dalam sejumlah
butir butir Perjanjian Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM belum
sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat. Kendati dalam perjanjian tersebut
memiliki limit waktu yang harus dijalankan namun dengan berbagai alasan, Aceh
masih diminta untuk menunggu.
Terhadap
serangkaian pengalaman tipu dan tertipu tersebut, baik Rusdi Sufy maupu Ramli A
Dally berharap semoga kedepan rakyat Aceh tidak lagi tertipu dan dibohongi
Pemerintah Pusat termasuk tertipu dan dibohongi oleh pemimpin Aceh sendiri. Semoga…..!
Sumber:
http://www.acehnationalpost.com/opini/1936-aceh-unggul-dalam-menipu-dan-tertipu.html