Berita tentang
Aceh selalu seksi. Sebab Aceh adalah serambi Mekkah yang dengan otonomi khusus
dan keistimewaannya telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi yang
melaksanakan syariat Islam. Memang faktanya selalu ada upaya menyudutkan
syariat Islam yang diformalisasikan menjadi hukum positif. Sedikit saja ada
kebijakan baru, lantas berbondong-bondonglah wartawan dari berbagai penjuru
untuk meliputnya, namun dengan angle yang diskriminatif: HAM.
Bagaimana tidak?
Setiap berita tentang sesuatu yang bernuansa syariah, pastilah media-media ini
dengan cepat melakukan investigasi dan menguliti peristiwanya dengan kacamata
mereka. Maka ini melanggar kebebasan, ini mengekang perempuan, itu menodai HAM
dan itu mencederai domokrasi. Begitulah kilahnya.
Sampai akhirnya
ketika kemarin “Ngangkang Style” menjadi salah satu trending topic nasional.
Pasalnya adalah apa yang disebut para wartawan sebagai “perda syariah tentang
larangan duduk mengangkang di sepeda motor” yang akan diterapkan oleh Walikota
Lhokseumawe kepada seluruh warganya. Sampai koran The Jakarta Post
menjadikannya salah satu topik utama. Media asing semacam BBC pun tak mau
ketinggalan memberitakannya. Heboh sekali, bukan?
Namun lihatlah
dengan jujur. Yang ada hanyalah upaya merorong Islam. Pemberitaan yang
berseliweran di media tak memenuhi asas cover both side. Narasumber berita
hanya berasal dari kelompok yang kontra peraturan tersebut. Kalau tidak aktivis
NGO HAM, ya aktivis Komnas Perempuan. Nanti, agar seolah-olah mengcover posisi
ulama, sebagai reprentasi muslim diwawancarailah para “cendekiawan muslim”
seperi Ulil Abshar Abdalla dan Siti Musdah Mulia. Ya wajar saja mereka menolak,
wong mereka memang anti formalisasi syariah. Wong mereka memang dari kalangan
liberal yang menolak ajaran agama sebagai sumber hukum.
Sampai tadi
malam (7/1), dalam acara Debat di Kabar Petang TV One membahas kembali tema itu
dengan judul provokatif, “Perda Syariah, Siapa Resah?”. Dihadirkanlah Yenni
Wahid dari Wahid Institute, Neng Dara Affiah dari Komnas Perempuan, Jazuli
Juwaini anggota DPR RI FPKS dan Kapuspen Kemendagri. Kalau pejabat Kemendagri
sudah pasti jawabannya standar. Semua ada prosedurnya. Nanti kita akan
konfirmasi, klarifikasi dan seterusnya. Okelah, memang begitu aturannya.
Nah, yang bikin
geli adalah kekoplakan dalil pengasong liberalisme seperti Yenni, Dara dan
sejumlah hadirin yang sengaja dihadirkan seperti Ulil Abshar, Siti Musdah Mulia
serta sejumlah aktivis HAM. Dalam debat itu, semua dalih mereka dimentahkan.
Yang buat istilah “Perda Syariah” siapa? Itulah taktik liberalis mengelabui orang
awam dengan permainan istilah. Padahal tak ada Perda Syariah. Hanya LSM
komprador yang mendapat kucuran dollar dari Barat yang setia menggunakan terma
ambigu semacam itu.
Lalu, muncul
lagi pernyataan bahwa perda ini “diskriminatif terhadap perempuan”. Secara
telak, Mahendradata memukul statement koplak ini. Apa dulu definisi
diskriminatif itu? Apa itu diskriminasi? Toh perempuan dan laki-laki secara
kodrat memang berbeda. Apakah setiap perbedaan itu disebut diskriminasi? Kalau
begitu kebijakan cuti hamil 3 bulan itu diskriminatif, dong? Soalnya laki-laki
tidak mendapat hak yang sama. Kalau begitu diskriminatif juga dong panitia
acara yang hanya memberi makan malam pada pembicara, namun tidak kepada
peserta? Para hadirin hanya bisa tersenyum dan tertawa seraya bertepuk tangan
atas kalahnya dalih koplak kaum liberalis.
Selain itu,
muncul juga istilah “perda kontroversial”. Lagi-lagi Mahendrata meluruskan
kesesatan istilah tersebut. Yang dimaksud kontroversi itu apa? Apakah satu dua
orang tidak setuju, sementara ribuan yang lain setuju lantas disebut
kontroversial? Mati kutu. Begitulah kaum liberalis tak bisa menjawab. Lantas
Siti Musdah Mulia mengalihkan pembicaraan, ia yang awalnya tak setuju syariah
di awal debat berubah pikiran. Namun setelah kalah debat, ia mengubah strategi.
Larikan tema pembicaraan. Dan saya sudah menduga dia dan juga Ulil akan
bertanya, “Oke, syariat Islam. Tapi syariat Islam yang mana? Islam menurut
siapa? Karena setiap agama memiliki interpretasi yang tidak tunggal.” Duh..
Cape deh. Ini alasan yang gokil banget. Khas pemuja relativisme yang anti
kebenaran. Khas orang-orang yang malas berdiskusi.
Yang lebih lucu
adalah saat Yenni Wahid di pengujung acara mengatakan kalau kodrat perempuan
hanya 4 yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. ” Di luar itu,
laki-laki dan perempuan semuanya sama,” pungkasnya. Oke, tentu saja semua
sepakat laki-laki dan perempuan harus adil dalam pembagian hak dan
kewajibannya. Sebagai Muslim, pedoman pembagian hak dan kewajiban juga sudah
tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Jadi sah-sah saja kalau umat Islam
menggunakan ajaran agamanya sebagai patokan hukum. Perempuan dan laki-laki
sama-sama boleh mendapat pendidikan oke, sama-sama boleh berkerja oke,
sama-sama mendapat kesempatan politik juga tidak masalah. Namun jangan sampai
atas nama kesetaraan, lantas aktivis yang mengaku “membela kepentingan
perempuan” menggugat ajaran agama. Jangan aturan menutup aurat dituduh
mengekang kebebasan. Jangan larangan berkhalwat difitnah memasung hak asasi.
Semua pernyataan
Yenni ini sebenarnya di awal sudah dimentahkan oleh Jazuli Juwaini dan Ismail
Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia. Juga fitnah soal Indonesia bukan negara
agama. Kata Jazuli, memang kita bukan negara agama, kita sepakat dengan itu.
Namun kita juga bukan negara sekuler. Kita tidak anti agama. Tidak boleh negara
memberangus ajaran agama. Apalagi konstitusi kita Pancasila, menjunjung tinggi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ismail Yusanto menambahkan, dalam ajaran Islam,
kewajiban syariat Islam hanya berlaku untuk umat Islam, sementara untuk yang
beragama lain tetap diberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya
masing-masing. Jadi, tidak ada diskriminasi dan pemaksaan seperti yang selalu
digembar-gemborkan media.
Uniknya, Yenni
Wahid dalam acara itu membuat perumpamaan yang sempat mendapat aplaus hadirin.
Dia mengkritisi perda-perda yang mewajibkan perempuan menutup aurat. Katanya,
yang kotor itu adalah otaknya laki-laki. “Masa’ melihat perempuan ngangkang di
sepeda motor bisa merangsang birahi?” Dia mencontohkan negara-negara Arab yang
perempuan menutup aurat namun tingkat perkosaannya nomor wahid, mengalahkan
negara Eropa yang perempuannya buka-bukaan. Sedihnya, pernyataannya ini adalah
kedustaan belaka. Entah dia sadar atau tidak. Ustadz Abdullah Haidir, Lc
sebagaimana dikutip Fimadani mengatakan, “Berdasarkan statistik resmi, negara
papan atas kejahatan perkosaan terhadap warganya justru diduduki oleh
negara-negara Eropa. Bagaimana dengan Arab Saudi? Dari 116 negara yang
diteliti, Arab Saudi justru berada di peringkat terbawah di posisi 115.” Cek
saja sumbernya di http://www.nationmaster.com/.
Mendudukkan “Perda Ngangkang”
Benarkah ada
Perda Ngangkang? Cek langsung ke lapangan dan Anda akan menemukan bahwa yang
ada hanyalah Seruan Bersama yang diteken Walikota, Ketua DPR Kota Lhokseumawe,
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe dan Ketua Majelis Adat
Aceh Kota Lhokseumawe. Isinya juga tidak seheboh yang ada di pemberitaan media.
Seruan tersebut juga tidak hanya melarang duduk mengangkang, tapi juga menyeru
tentang berpakaian sopan. Bahkan larangan duduk mengangkang itu mendapat
pengecualian dalam kondisi darurat. Bukankah ini satu hal yang wajar? Apalagi
bagi Aceh, provinsi yang khusus lagi istimewa?
Sekjen Himpunan
Ulama Dayah Aceh (HUDA) menilai, perempuan duduk mengangkang di atas sepeda
motor dengan aurat terbuka atau tidak mengenakan pakaian muslimah, bisa
meruntuhkan marwah seorang perempuan. “Kebijakan ini bisa mengembalikan marwah
perempuan yang ada di Aceh, kalau yang di luar Aceh tidak ada problem.
Berbicara marwah sangat tergantung pada daerah,” katanya, dilansir Okezone,
Kamis (3/1)”
Dari sisi agama,
perempuan tetap diperbolehkan duduk terbuka atau ngangkang di sepeda motor asal
jangan sampai terbuka auratnya dan tidak menciderai marwah seorang perempuan.
“Sah-sah saja, asal aurat tetap terjaga, pakaian tetap sopan tidak menyerupai
laki-laki, dan tidak menciderai marwah perempuan itu sendiri,” ujar Faisal yang
juga Ketua PW Nahdatul Ulama Aceh.
Dalam konteks
adat istiadat, seorang perempuan yang duduk ngangkang di sepeda motor
menyerupai laki-laki dinilai bisa meruntuhkan marwah perempuan dan tidak sesuai
dengan nilai-nilai keAcehan. Ini tidak hanya identik dengan syariat Islam, tapi
kalau saya lihat lebih kepada upaya untuk mengembalikan adat istiadat dan
budaya Aceh yang mulai hilang. Sekira 20 tahun lalu, lanjut Faisal, perempuan
ngangkang di sepeda motor merupakan hal tabu dan langka di Aceh, karena duduk
seperti itu dinilai bisa menjatuhkan harga diri perempuan itu sendiri.
Aktivis Gerakan
#SyariatkanMedia, Muda Bentara melalu akun jejaring sosialnya berpendapat bahwa
menerapkan aturan berbasis kearifan lokal adalah hak setiap daerah. Meskipun
aneh, namun begitulah local wisdom Aceh. Duduk secara mengangkang (duek phang)
memang tabu dalam tradisi Aceh. “Mungkin Pemkot di sana punya pertimbangan
lain. Misal seperti Singapura yang melarang memelihara kucing bagi penduduknya,
melarang penjualan permen karet. Ataupun semisal Inggris yang tak boleh
menampilkan dua jari (victory) yang disana dianggap menghina. Misal ketika di
Amerika ada aturan yang apabila ada orang yang menyapa orang lain sambil
mengupil maka hal itu bisa dipidanakan, misal juga ketika seseorang di Amerika
menampilkan ekspresi jari yang dianggap melecehkan, misal juga sebuah maskapai
penerbangan di New Zealand yang tak membolehkan penumpangan mengenakan celana
kendor dan apabila mengenakannya akan diturunkan dari pesawat,” urainya panjang
lebar. Itu semua negara maju dan tak ada yang protes serta meributkan.
Lebih tegas,
aktivis Pusat Kebudayaan Aceh Turki (PuKAT), Thayeb Loh Angen dalam sebuah
diskusi budaya di Banda Aceh mengatakan bahwa aturan baru Walikota Lhokseumawe
adalah hak eksklusif penduduk setempat. Kritikan yang berkembang selama ini
kebanyakan datang dari penduduk luar kota Lhokseumawe merupakan hal yang tidak
pada tempatnya. Setuju atau tidak tentang aturan itu adalah hak mutlak penduduk
Kota Lhokseumawe. “Ini bukan artinya saya mendukung kebijakan pemerintah Kota
Lhokseumawe tentang larangan tersebut atau karena asal saya dari sana, tidak
sama sekali. Saya katakan ini karena inilah kebenarannya. Setiap wilayah dan
daerah punya hak eksklusif. Ini salah satunya,” kata Thayeb.
Rektor Institut
Sastra Hamzah Fansuri ini mengingatkan supaya orang-orang mengurus daerahnya
atau keluarganya masing-masing. Menurutnya, ini negara demokrasi, setiap daerah
punya hak dan kebudayaannya. “Orang Aceh atau Indonesia jangan seperti istilah
hadih majaAceh, ‘Keubeue grop paya guda coat iku (kerbau turun ke paya tapi
malah kuda yang ketakutan sampai teak ekornya-red). Lucu jika aturan Lhokseumawe
diprotes oleh orang Aceh Utara, apalagi Banda Aceh atau Jakarta. Itu tidak pada
tempatnya. Sebaiknya orang mengurus daerah atau keluarganya masing-masing,”
kata Thayeb.
Epilog
Epilog
Intinya,
semangat Walikota Lhokseumawe untuk melestarikan adatnya adalah sah dan bahkan
patut didukung. Bagi orang Aceh agama ngon adat lagee dzat ngon sifeut. Agama
dengan adat seperti dzat dengan sifat, tak bisa dipisahkan antara Aceh dan
Islam. Seperti juga Minang yang punya asas adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Kalau kita memang pro demokrasi maka hargailah budaya lokal
setempat dan hormatilah aspirasi masyarakat Lhokseumawe. Jangan karena lemahnya
pemahaman atau kurangnya iman, membuat kita mati-matian menentang Islam. Kalau
cuma perkara teknis yang jadi masalah tentu bisa didialogkan. Kalau isi seruan
ini dianggap terlalu mengada-ada atau kurang sempurna, silakan sampaikan kritik
dan masukan dengan jalurnya. Kata Mahendradata, “Kalau Anda rasa ini
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi silakan adukan ke Mahkamah Agung.
Toh dulu Anda sudah kalah saat judicial review di MK.”
Yang jelas,
jangan lagi pakai dalil dan fakta koplak hanya untuk menentang syariah. Tak
usah provokasi masyarakat dengan berita dan informasi bohong. Nikmati saja
demokrasi ini. Kita rayakan kebebasan dengan tanggungjawab sesuai hukum. Dan
kita buktikan apakah Syariah atau Liberalisme yang membawa berkah? Wallahua’lam
bish-shawab.
Sumber:
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/08/dalil-koplak-pengasong-liberalisme-522562.html